Revisi UU Penyiaran Berpotensi Menghalangi Kebebasan Pers
Dosen dan akademisi Ilmu Komunikasi UMY menyoroti sejumlah kejanggalan.
KORANBERNAS.ID, BANTUL - Wacana revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran terus menuai kontroversi. Kali ini, sivitas akademika Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menilai adanya upaya pembungkaman pers dalam rancangan revisi tersebut.
Dalam diskusi dan penyampaian sikap yang digelar Jumat (24/5/2024), para dosen dan akademisi Ilmu Komunikasi UMY menyoroti sejumlah kejanggalan baik dari sisi substansi maupun proses revisi UU Penyiaran.
"Ada potensi pelarangan pembuatan konten investigasi jurnalistik yang sangat berbahaya. Ini dapat menghalangi kebebasan pers dalam mengawasi jalannya pemerintahan," tegas Dr Senja Yustitia, dosen Ilmu Komunikasi UMY melalui keterangan tertulisnya, Minggu (26/5/2024).
Selain itu, Senja juga menyoroti adanya potensi pemberitaan media yang dapat dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik. Hal ini dinilai sebagai tindakan represif terhadap media dan jurnalis.
Poin krusial
Senja menambahkan, dari sisi substansi terdapat sejumlah poin krusial lainnya seperti aturan konten siaran internet, wewenang sensor KPI, tumpang tindih kewenangan KPI dan Dewan Pers, hingga tidak adanya pembatasan kepemilikan lembaga penyiaran swasta.
"Ini dapat dinilai sebagai upaya membuka intervensi negara dalam diskusi publik dan berpotensi menciptakan homogenitas industri penyiaran yang didominasi kekuatan tertentu," tambahnya.
Dari sisi proses, Senja menilai DPR kurang melibatkan masyarakat sipil seperti jurnalis, akademisi dan praktisi penyiaran dalam penyusunan revisi UU. Menurutnya, proses revisi menjadi sangat elitis dan serampangan.
Sivitas akademika Ilmu Komunikasi UMY menyampaikan tiga poin sikap kepada pemerintah dan DPR. Pertama, menghentikan proses revisi UU Penyiaran. Kedua, melibatkan lebih banyak masyarakat sipil. Ketiga, memastikan semua pihak terdampak dapat memberikan masukan.
"Dalam iklim demokrasi, pemerintah harus tanpa kenal lelah merevisi UU dengan transparan dan melibatkan publik agar hasilnya dapat diterima masyarakat," kata Senja. (*)