Rekomendasi JNPK-NU, NU Bukan Untuk Mendukung Kekuasaan

Rekomendasi JNPK-NU, NU Bukan Untuk Mendukung Kekuasaan
Sebagian dari peserta diskusi publik bertema "NU Khittah 1926 dan Civil Society", yang berlangsung di UGM, Sabtu (20/1/2024). (istimewa)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA--Jaringan Nahdliyin Pengawal Khittah NU (JNPK-NU) menegaskan, politik adalah bagian dari tujuan NU sebagai jam’iyah. Tidak mungkin dan tidak ada manfaatnya memisahkan urusan politik dari NU. Tapi urusan politik itu harus dikelola untuk kemaslahatan umum, bukan untuk mendukung kekuasaan atau kandidat tertentu.

Hal ini menjadi bagian penting dari diskusi publik bertema NU Khittah 1926 dan Civil Society, yang berlangsung di UGM, Sabtu (20/1/2024). Diskusi dihadiri oleh ratusan tokoh dan aktivis NU yang berada dalam Jaringan Nahdliyin Pengawal Khittah NU (JNPK-NU).

Dalam diskusi ini, sejumlah tokoh menyoroti pentingnya NU menjaga kemandirian politik dan kemandirian ekonomi, agar perkembangan dan inovasi di jam’iyah ini tidak tergantung pada uluran tangan penguasa.

Khittah NU, yang menyatakan NU bukan partai politik dan bukan underbouw partai politik, adalah rujukan moral sekaligus rujukan formal dalam tindakan politik NU. Khittah NU adalah bagian dari AD/ART NU. Penyelenggaraan NU tidak boleh menyimpang dari Khittah NU. Karena bukan partai politik dan bukan underbouw partai politik, maka NU tidak boleh digunakan sebagai alat pemenangan kandidat presiden dalam pilpres,” demikian sebagian dari bunyi rekomendasi yang merupakan hasil dari diskusi dimaksud.

Salah satu tokoh yang hadir dalam diskusi ini, Abdul Gaffar Karim mengatakan, NU harus menghindari politik transaksional yang bersifat jangka pendek, dan lebih fokus pada politik moral. Dengan demikian, NU akan memberi warna pada peradaban bangsa Indonesia yang lebih baik di masa depan.

«Peradaban ini dimulai dari penguatan moral, dan moral itu dilandasi oleh nilai ke-NU-an yang diwariskan oleh para muassis. Di mana NU menjadi penengah dalam konfil-konflik politik yang muncul di negeri ini, dan berupaya dengan sekuat tenaga untuk tidak menjadi bagian dari konflik politik manapun,” tegasnya.

Langkah-langkah politik NU juga harus didasarkan pada nilai-nilai keulamaan untuk diabdikan pada kepentingan ummat. Dengan cara itu, NU bisa terus memainkan peran sebagai bengkel kemanusiaan, untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa.

“Gagasan ini sesuai dengan keputusan Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo, dengan dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan tokoh-tokoh lain sezaman, yang merupakan para penggerak penting Khittah NU pada masa itu,” lanjut Gafar.

Adapun bunyi rekomendasi secara utuh dari diskusi ini adalah sebagai berikut :

1.        Politik adalah bagian dari tujuan NU sebagai jam’iyah. Tidak mungkin dan tidak ada manfaatnya memisahkan urusan politik dari NU. Tapi urusan politik itu harus dikelola untuk kemaslahatan umum, bukan untuk mendukung kekuasaan atau kandidat tertentu. Dalam hal ini, NU harus menjaga kemandirian politik dan kemandirian ekonomi, agar perkembangan dan inovasi di jam’iyah ini tidak tergantung pada uluran tangan penguasa.

2.        Khittah NU, yang menyatakan NU bukan partai politik dan bukan underbouw partai politik, adalah rujukan moral sekaligus rujukan formal dalam tindakan politik NU. Khittah NU adalah bagian dari AD/ART NU. Penyelenggaraan NU tidak boleh menyimpang dari Khittah NU. Karena bukan partai politik dan bukan underbouw partai politik, maka NU tidak boleh digunakan sebagai alat pemenangan kandidat presiden dalam pilpres.

3.        NU harus menghindari politik transaksional yang bersifat jangka pendek, dan lebih fokus pada politik moral untuk memberi warna pada peradaban bangsa Indonesia yang lebih baik di masa depan. Peradaban ini dimulai dari penguatan moral, dan moral itu dilandasi oleh nilai ke-NU-an yang diwariskan oleh para muassis, di mana NU menjadi penengah dalam konfil-konflik politik yang muncul di negeri ini, dan berupaya dengan sekuat tenaga untuk tidak menjadi bagian dari konflik politik manapun. Langkah-langkah politik NU harus didasarkan pada nilai-nilai keulamaan untuk diabdikan pada kepentingan ummat. Dengan cara itu, NU bisa terus memainkan peran sebagai bengkel kemanusiaan, untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa.

4. Dalam upaya mengelola kepentingan politik praktis dalam pemilu, NU harus

menghindari langkah politik langsung, dan lebih menggunakan partai politik sebagai alat utama. Untuk itu, NU perlu mengupayakan perbaikan dan penegasan hubungannya dengan partai-partai politik yang menjadi saluran aspirasi warga NU. 

5. NU harus memainkan fungsi pengawasan kekuasaan di Indonesia. Tujuannya adalah untuk menguatkan demokrasi dengan mendorong pengawasan publik dan menjaga ketersediaan oposisi politik yang diperlukan untuk mewujudkan pemerintahan yang akuntabel.

6. NU perlu fokus pada upaya pemberdayaan masyarakat, baik di lingkup ekonomi, pendidikan, kesehatan, juga kewargaan. NU harus menjadi agen pendidikan politik kewargaan di ranah akar rumput, yang selama ini cenderung terabaikan. Semua pengurus harian, Banom-Banom dan Lembaga- lembaga/Lajnah-Lajnah di NU harus menjadi ujung tombak pendidikan emansipasi dan kesetaraan gender, dan tidak menjadi mesin politik semata-mata.

7. Upaya perbaikan serius di NU berbasis semangat Khittah NU sebagaimana disampaikan dalam poin-poin di atas memerlukan keteladanan dari pimpinan tertinggi jam’iyah NU saat ini agar memperoleh perhatian seluruh jajaran pengurus NU hingga ke tingkat terbawah dalam rangka berkhidmah kepada ummat, bangsa dan negara berlandaskan nilai-nilai Aswaja Annahdliyah.

8. Seluruh jajaran nahdliyin perlu melakukan evaluasi serius terhadap perilaku dan posisi NU saat ini di hadapan negara dan masyarakat, dalam konteks menjadi kekuataan civil society yang berbasis landasan moral Aswaja Annahdliyah.

9. Untuk itu, diperlukan rekonstruksi keorganisasian NU yang sesuai dengan mandat Qonun Asasi dan AD/ART NU secara konsisten dan konsekwen sehingga jam’iyah NU bisa kembali menjadi gerakan kebangkitan para ulama sebagaimana terkandung dalam namanya. (*)