Pendidikan Kekerasan pada Anak

Pendidikan Kekerasan pada Anak

SALAH satu dari banyak tujuan manusia adalah untuk menikah. Meneruskan keturunan dan melanjutkan ideologi pemikiran mengenai pandangan hidup. Untuk mewujudkannya dengan diikat perjanjian suci (sakral) bernama pernikahan. Berikrar sumpah setia untuk menjadi pasangan sehidup semati dan berdoa agar tercipta kebahagian dan kedamaian dalam berumah tangga.

Pelaksanaan perkawinan diatur oleh sebuah lembaga agar hubungan antara suami istri secara yuridis maupun religius sah menurut agama, hukum, dan tidak melanggar nilai dan norma hukum kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Kemudian persepsi pernikahan berkembang sebagai sebuah kontrak sosial mengatur hak dan kewajiban (suami-istri) tanpa ada intervensi dari luar.

Sebelum ramai istilah emansipasi, seorang istri dalam tradisi Jawa kerap dijadikan korban kekerasan fisik dan emosional. Menganggap perempuan mempunyai strata lebih rendah daripada laki-laki. Kemudian muncul istilah swarga nunut neraka katut dan kanca wingking sebagai legitimasi ketidakberdayaan istri dalam peran keluarga. Seorang istri hanya berhak mengurusi bagian dapur, mengurus anak, dan melayani suami.

Namun ketika terbukanya informasi dan perkembangan peradaban, perempuan mulai aktif mengambil peran yang biasanya dikerjakan oleh laki-laki. Perempuan tidak mau lagi diikat dalam narasi ketertinggalan. Mulai menempuh pendidikan setinggi mungkin agar bisa mempunyai peran dalam status dan ekonomi rumah tangga. Di sisi lain, memudarnya kontrol suami terhadap istri menyebabkan banyak konflik internal dalam rumah tangga yang berujung Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan perceraian.

Jumlah kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) sepanjang tahun 2020 mencapai 299.911 kasus dengan data pengaduan ke Komnas Perempuan mengalami peningkatan sebesar 60% dari semula 1.413 kasus di tahun 2019 menjadi 2.389 kasus di tahun 2020. Kasus yang paling menonjol adalah KDRT/RP (Kasus Dalam Rumah Tangga/ Ranah Personal) sebanyak 79% (6.480 kasus), sedangkan Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menempati peringkat pertama dengan 3.221 kasus (50%).

Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dijelaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang (terutama perempuan), yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Ada sikap superioritas suami terhadap istri yang mengakibatkan terjadinya KDRT. Perempuan yang melakukan penyerangan terlebih dahulu terhadap suami lebih berisiko untuk menerima kekerasan fisik dan seksual. Ada juga faktor perselingkuhan, ekonomi atau pekerjaan, penggunaan zat adiktif, hingga status sosial atau tingkat pendidikan pasangan.

Dampak terhadap Anak

Kontradiksi antara ikrar pernikahan dan realita kehidupan rumah tangga patut menjadi perhatian dari berbagai pihak. KDRT bukan hanya menyebabkan perceraian, melainkan juga ada delik hukum yang termaktub dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Misalnya terjadinya kekerasan seksual yang terancam pidana 12 tahun penjara dan denda 36 juta rupiah.

Undang-undang tersebut diharapkan mampu menekan angka KDRT yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Ada perlindungan khusus bagi korban kekerasan rumah tangga, baik secara emosional, seksual, dan fisik. Harapannya, dengan berkurangnya kasus KDRT, selaras dengan penurungan angka perceraian yang pada tahun 2020 meningkat sekitar 4,7 juta pasangan dari tahun sebelumnya.

Dampak paling memprihatinkan akan terjadi pada anak. Keluarga adalah pendidikan paling fundamental bagi anak-anak. Sifat anak yang suka meniru segala sesuatu yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya akan membentuk karakter pada masa mendatang. Jika orang tua “mengajarkan” kekerasan pada anak, secara tidak langsung akan terjebak pada lingkaran kenakalan remaja.

Situasi semacam ini dapat mendorong timbulnya crime imitation model (peniruan model kejahatan) termasuk delinquency imitation model (peniruan model kenakalan remaja). Ingatan seorang anak akan merekam aktivitas pendidikan dini dalam lingkup keluarga, termasuk kekerasan verbal maupun nonverbal suami terhadap istri.

Ada kasus lainnya yang menempatkan anak pada posisi korban kekerasan berumah tangga. Bukan lagi menjadi saksi (melihat adegan KDRT), namun ada metode pendidikan kekerasan pada anak agar menjadi patuh kepada orang tua. Menurut WHO, kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan penganiayaan atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, melalaikan pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan komersial, yang secara nyata atau pun tidak dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat atau perkembangannya.

Dalam berumah tangga, bukan hanya istri (perempuan) yang mendapat perlindungan hukum, seorang anak pun juga demikian. Seorang anak juga rentan terhadap kekerasan fisik, psikis, seksual, hingga sosial (penelantaran). Sehingga tidak sehatnya hubungan rumah tangga akan berdampak signifikan terhadap perkembangan anak. Namun kebanyakan terjadinya kekerasan terhadap anak sering dijadikan dalih kedisiplinan.

Ada banyak lembaga pengaduan KDRT, demikian halnya dengan aturan hukum dan sanksi sosial bagi pelaku kekerasan rumah tangga. Namun sistem tersebut tidak sesuai dengan implementasi di lapangan. Masih banyak kasus KDRT terhadap istri dan anak yang tidak terpantau oleh lembaga atau institusi terkait.

Akhirnya KDRT dianggap kewajaran dalam sistem sosial budaya masyarakat sebagai bagian dari risiko berumah tangga. Rumah tangga adalah urusan internal yang tidak berhak dicampuri oleh intervensi pemerintah atau lembaga sosial. Harus ada tindakan pecegahan dini mulai dari bimbingan pranikah hingga sosialisasi pengaduan kekerasan dalam rumah tangga, agar lebih dikenal masyarakat.

Realita di lapangan masih banyak korban yang bungkam dari kasus KDRT karena dianggap aib keluarga dan sikap skeptis terhadap pelaku kekerasan. Dibutuhkan banyak peran hukum dan agama dalam membentuk sikap seseorang dalam berumah tangga. Agar tujuan kesakralan pernikahan yang mengedepankan kasih sayang tidak berbalik menjadi arena peperangan. *

Joko Yuliyanto

Penggagas komunitas seniman NU. Penulis buku dan naskah drama. Aktif menulis opini di media daring dan luring.