Pembatasan Produksi Sigaret Matikan Produsen Kretek Tangan

Pembatasan Produksi Sigaret Matikan Produsen Kretek Tangan

KORANBERNAS.ID --Walau masih berupa usulan, kenaikan batasan produksi sigaret kretek tangan (SKT) golongan II sudah banyak ditolak. Salah satunya para produsen SKT yang bernaung di bawah Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI). Menurut mereka, kenaikan batasan tersebut akan memukul industri SKT golongan 1 yang tersebar di berbagai kabupaten dan kota di seluruh Jawa.

Menurut Ketua Paguyuban MPSI Joko Wahyudi, ada 38 pabrikan sigaret kretek tangan dengan 40.000 hingga 50.000 karyawan di Pulau Jawa. Jika pemerintah mengabulkan usulan tersebut, SKT tidak akan bertahan.

“Dampaknya, puluhan ribu tenaga kerja bisa kena PHK,” paparnya dalam diskusi media di Bale Raos, Yogyakarta, Selasa (10/9/2019).

Saat ini, lanjut Joko, pabrikan SKT asing yang berskala besar mengajukan usulan tersebut. Padahal mereka memiliki volume produksi 1,8 miliar batang atau berada di SKT golongan II dengan tarif cukai Rp 180 per batang.

Dengan demikian, pada 2020, volume produksi pabrikan SKT besar asing tersebut akan menembus 2 miliar batang atau masuk ke golongan 1 dengan tarif cukai tertinggi yakni Rp 290 Rp 365 per batang.

Untuk menghindari kewajiban membayar tarif cukai tertinggi di golongan 1, pabrikan besar asing tersebut mengajukan agar batasan produksi SKT golongan II dinaikkan. Dengan demikian. pabrikan besar asing yang beroperasi di lebih 70 negara ini dapat menaikkan volume produksinya.

Sehingga dengan kenaikan batasan produksi SKT golongan II, pabrik tersebut bisa tetap membayar cukai rendah sebesar Rp180.

Di sisi lain, pabrikan SKT yang bergabung di MPSI akan kesulitan bersaing, karena kapasitas produksi mereka terbatas.

“Usulan kebijakan ini hanya akan menguntungkan pabrikan besar asing tersebut dan menyengsarakan ratusan pabrikan lokal, serta puluhan ribu pelinting yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Maka sepantasnya para pemilik pabrikan kecil dari wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan tegas menolak usulan kenaikan batas produksl SKT golongan II tersebut,”tegasnya.

“Produksi kami manual. 90% pelinting adalah ibu-ibu yang menjadi tulang punggung keluarga. Realitanya, jumlah produksi SKT golongan II kami yang besarnya 500 juta sampai dua miliar tidak habis per tahun,” ucap Joko.

Selain mengancam sedikitnya 11.000 pelinting, kenaikan batasan produksi tersebut juga berpotensi mereduksi penerimaan cukai sekitar Rp1 triliun.

“Karena kalau kami sampai gulung tikar akibat persaingan yang tidak adil, kami tidak bisa membayar cukai,” pungkas Joko.

Khusus di DIY, rencana kenaikan batasan produksi SKT bisa mengancam 4.000 tenaga kerja di industri sigaret kretek tangan. Pekerja tersebut tersebar di empat pabrik di seluruh Yogyakarta. (SM)