Menari dalam Sunyi, Ketika Bahasa Isyarat Bertemu Tarian di Panggung GIK UGM
Ketiga penari tuli dari Yogyakarta ini membawa dimensi baru pada babak penyisihan iForte National Dance Competition Inspirasi Diri.
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Derap langkah dan hentakan musik memenuhi Pendopo Gelanggang Inovasi dan Kreativitas Universitas Gadjah Mada (GIK UGM). Namun bagi Nur Saharani, Diandra Ratih dan Mei Naswa, musik itu terasa berbeda sebab mereka merasakannya melalui getaran lantai kayu dan detak jantung mereka sendiri.
Ketiga penari tuli dari Yogyakarta ini membawa dimensi baru dalam babak penyisihan iForte National Dance Competition Inspirasi Diri. Dengan gerakan yang mengadaptasi bahasa isyarat dari lagu Inspirasi Diri pada lirik Aku Bisa, Kita Bisa, mereka membuktikan bahwa keterbatasan pendengaran bukan penghalang untuk menari.
"Sebelum tampil, saya sangat gugup, Tapi ketika kaki saya menyentuh panggung, saya ingat pesan guru saya, tarian bukan hanya tentang mendengar musik, tapi juga tentang merasakan jiwa," ungkap Saharani melalui penerjemah bahasa isyarat.
Di antara 21 finalis yang tampil pada babak penyisihan Yogyakarta, penampilan ketiga penari dalam Kaliba Dance asal Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 1 di Bantul ini menjadi perhatian khusus.
Interpretasi unik
Mereka berhasil menampilkan interpretasi unik dari lagu tema Inspirasi Diri, hasil kolaborasi musisi Eross Candra dan Yura Yunita, yang telah dipersiapkan sejak September 2024.
Saat matahari kian meninggi di pucuk pilar-pilar pendopo GIK UGM, Saharani dan kedua rekannya masih bersemangat. Mereka ingin membuktikan bahwa keterbatasan bukan akhir dari segalanya.
Mungkin mereka tidak bisa mendengar musik seperti yang lain. Tapi mereka bisa merasakan iramanya dalam hati. Dan tentu itulah yang terpenting dalam menari.
"Ini bukan sekadar kompetisi tari biasa. Bagi anak-anak ini, tampil di panggung nasional adalah langkah besar menuju pengakuan bahwa seni bersifat universal," kata Elwis Latifah, guru Program Khusus untuk siswa tuna rungu yang mendampingi ketiga penari tersebut, Sabtu (15/2/2025).
Tempat istimewa
Firza Maulana selaku Head of Sales iForte Area Jateng-DIY, mengakui bahwa Yogyakarta memang memiliki tempat istimewa dalam kompetisi ini.
"Dari 413 peserta yang tersebar di 127 kota, Yogyakarta menunjukkan keunikan tersendiri. Bukan hanya dari segi teknik tarian, tapi juga dari semangat inklusivitas yang ditunjukkan," jelasnya.
Kompetisi yang digelar di 15 kota besar Indonesia ini memang dirancang untuk menjadi lebih dari sekadar ajang unjuk kebolehan.
Ariek Kurniawati selaku GM of Sales iForte mengatakan tujuan utamanya adalah menanamkan kecintaan terhadap budaya Indonesia di kalangan generasi muda.
Gerakan modern
"Kami memberikan kebebasan berkreasi kepada peserta, namun tetap dengan syarat mengkolaborasikan unsur tarian tradisional dengan gerakan modern," tambah Ariek.
Hal ini tercermin dalam lagu tema yang menggabungkan musik pop dengan 11 alat musik tradisional dari berbagai daerah, mulai dari Papua hingga Bengkulu.
Namun terlepas dari hasil akhir kompetisi, ketiga penari tuli dari Yogyakarta ini telah memberikan inspirasi bahwa seni tari mampu melampaui batasan fisik dan menjadi bahasa universal yang mempersatukan. (*)