Malioboro Resik lan Apik

Malioboro Resik lan Apik

Oleh : Aries Setiawan, S.Arc.

SEINGAT saya dan sempat dimuat beberapa koran, pada awal tahun 2000-an, komunitas pernah menggulirkan issue Badan Otorita Malioboro. Hal ini sebagai jawaban perlunya integrasi dalam menata Malioboro.

Kami bersyukur, beberapa tahun kemudian, Pemerintah Kota membentuk Unit Pelayanan Terpadu Malioboro.

Ternyata, integrasi bukan hanya pada cara menata kawasan Malioboro, tetapi juga dalam cara memandang kawasan tersebut. Dalam konteks menumbuhkan budaya bersih dan menjadikan Malioboro sebagai kawasan yang resik lan apik, Kawasan Malioboro sepantasnya dipandang sebagai sebuah pasar atau sebuah pusat perbelanjaan yang terpanjang di dunia.

Memanjang lebih 1.200 meter dari depan Hotel Inna Natour sampai Titik Nol Kilometer. Beroperasi selama hampir 24 jam. Dihuni banyak pedagang dan penjual jasa. Perhari didatangi puluhan ribu sampai ratusan ribu pengunjung.

Masih konteks membangun budaya bersih dan menjadikannya resik lan apik, maka pusat perbelanjaan yang bernama kawasan Malioboro tersebut, seharusnya dijaga selama 24 jam juga. Karena, selama ia beroperasi atau didatangi pengunjung, maka sampah juga berpotensi ikut menyertainya.

Dengan demikian, cara-cara lama seperti yang saat ini diterapkan, sudah tidak sesuai lagi. Pelayanan kebersihan di kawasan Malioboro mesti dilakukan secara terpadu, terukur, dan terus-menerus tanpa henti.

Malioboro perlu dijaga oleh petugas kebersihan sebanyak total 80 sampai 90 orang perhari. Mengikuti jejak jumlah Jogoboro yang saat ini sukses menjaga keamanan dan ketertiban kawasan Malioboro.

Nantinya, mereka dibagi dalam 3 shift. Setiap shift terdiri dari 30 orang. 20 petugas di sayap timur dan 10 petugas untuk sayap barat. Masing-masing petugas memiliki tugas dan fungsi menjaga kebersihan di wilayah tertentu, dengan besaran tertentu pula. Sesuai dengan besaran, jenis, dan sumber sampah.

Bukan hanya menjaga kebersihan, mereka juga bersama komunitas, mengkampanyekan budaya bersih kepada pengunjung.

Dalam waktu yang bersamaan, kami akan mendukung dengan menerapkan siber.kom (Sistem Kebersihan berbasis Komunitas). Begitu pula, kami bersama pemerintah dan perguruan tinggi, berupaya mencari alternatif dan solusi untuk mengurangi sumber sampah.

Misal, dengan tidak menggunakan sedotan dan menerapkan sistem waterless. Sehingga, pada akhirnya, sampah yang dominan, hanya sampah dedaunan dari pohon perindang di Malioboro.

Tentu saja, sejak dini, kita mempromosikan budaya bersih bagi seluruh stakeholder yang ada dan berkunjung di Malioboro. Kita jadikan semangat maskot Jaka-Lisa singkatan dari Jaga Kebersihan dan Lihat Sampah Ambil, benar-benar membumi.***

Penulis Sekretaris Paguyuban Lesehan Malioboro