Ketua FSP RTMM Sudarto: Jangan Hanya Bilang Rokok Mengganggu Kesehatan, Menteri Enak Duitnya Banyak

Ketua FSP RTMM Sudarto: Jangan Hanya Bilang Rokok Mengganggu Kesehatan, Menteri Enak Duitnya Banyak
Diskusi Menelisik Kebijakan Cukai Hasil Tembakau di Indonesia. (istimewa)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA—Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau Makanan, Minuman, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI), pekan depan akan meminta audiensi dengan pemerintah. Audiensi ini dimaksudkan untuk menyuarakan aspirasi para pekerja dalam ekosistem pertembakauan, yang terancam dengan berbagai kebijakan pemerintah.

Ketua Umum PP FSP RTMM SPSI Sudarto AS mengatakan, pihaknya sangat prihatin dengan perkembangan yang terjadi, menyangkut regulasi pemerintah terkait ekosistem pertembakauan. Regulasi yang awalnya lebih diarahkan untuk pengendalian, ternyata sudah berubah dan cenderung mematikan ekosistem pertembakauan.

Minggu depan kami kirim surat. Kalau perlu kami akan memaksa untuk audiensi. Saya malu kalau tidak bisa melindungi anggota. Kalau tidak bisa audiensi, saya minta semua ikut ke Jakarta untuk menyuarakan hal ini,” kata Sudarto di depan peserta Diskusi Terbatas “Menelisik Kebijakan Cukai Hasil Tembakau di Indonesia” yang berlangsung di Yogyakarta, Minggu (9/6/2024). Diskusi diprakarsai oleh Pengurus Daerah FSP RTMM-SPSI DIY.

Sudarto mengungkapkan, perjuangan tak kenal lelah harus dilakukan, untuk memastikan masa depan pekerja dan orang yang menggantungkan hidup dari ekosistem pertembakauan terjamin ke depannya. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan seluruh elemen yang mengaku pro kesehatan, tidak bisa dibiarkan hanya ngomong soal rokok mengganggu kesehatan, tanpa melihat fakta betapa ekosistem pertembakauan menguasai hajat hidup lebih dari 6 juta manusia atau rakyat Indonesia.

“Menteri jangan hanya ngomong itu (rokok mengganggu kesehatan-red). Dia duitnya banyak. Kalau kami 6 juta orang ini harus hidup serba was-was karena kebijakan pemerintah yang semakin menjepit hidup kami. Kami tidak menolak aturan. Tapi aturannya harus adil,” tandasnya.

Sudarto lantas menyitir data, Industri Hasil Tembakau (IHT) tahun 2022 mencapai Rp 171.33 triliun. Tahun 2023 naik menjadi Rp 213,48 triliun. Sekarang ini, ada wacana untuk menetapkan kenaikan cukai tembakau sebesar 10 persen setiap tahun.

Anehnya, kontribusi yang besar ini tidak tercerminkan dalam kebijakan pemerintah yang dapat memelihara ekosistem pertembakauan berjalan dengan baik.

“Anggota kami di banyak daerah, terus resah karena regulasi yang mengancam keberlangsungan sektor ini. Bahkan, dalam regulasi terakhir, komoditas tembakau disejajarkan dengan narkoba, psikotropika dan miras. Meskipun pasal ini kemudian dikoreksi, terlihat dengan jelas, ada upaya untuk menggiring regulasi yang akan mematikan ekosistem pertembakauan,” tandasnya.

Ketua Umum DPN Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Agus Parmuji menambahkan, skenario untuk mematikan ekosistem pertembakauan di Indonesia sudah berlangsung lama.

Petani tembakau dari Temanggung ini menyebut, upaya meminggirkan industri tembakau nasional mulai dilakukan sejak kran impor tembakau dibuka tahun 2012. Sejak itu, impor tembakau terus mengalami kenaikan hingga melampaui ambang batas kewajaran dan mengancam tembakau lokal.

“Impor tembakau mencapai 135 ribu ton. Ini sudah lebih dari 50 persen kebutuhan. Sebenarnya, impor dilakukan bukan karena suplai dalam negeri kurang,’ katanya.

Karena kebijakan inilah, secara berangsur-angsur minat petani untuk menanam tembakau menurun.

“Sebagian petani tembakau mulai beralih menanam komiditi lainnya. Dan celakanya, ini dimanfaatkan mereka yang anti tembakau sebagai bahan kampanye untuk makin menjepit ekosistem pertembakauan. Sudah lama kami menggelar aksi menyuarakan hal ini. Dan alhamdulillah, suara kami tidak pernah didengar,” katanya kecut.   

Untuk itu, Agus sepakat seluruh pekerja dan petani yang terlibat dalam ekosistem pertembakauan makin menggencarkan perlawanan atas gerakan yang diarahkan untuk mematikan sektor ini.

“Gerakan perlawanan harus disegerakan, sebelum ibukota pindah ke IKN. Karena kalau sudah di IKN, perjuangan kita akan makin sulit. Butuh biaya tidak kecil untuk berjuang menyuarakan aspirasi ini hingga ke pulau seberang. Kita kepung sebelum pindah ke IKN,” katanya. (*)