Kemah adalah Kelas Kehidupan bagi Sanggar Anak Alam Nitiprayan

Kemah adalah Kelas Kehidupan bagi Sanggar Anak Alam Nitiprayan
Foto bersama saat kemah akbar Sanggar Anak Alam Nitiprayan di Wana Jonggol, Sleman Yogyakarta. (muhammad zukhronnee ms/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, SLEMAN--Di bawah kanopi hijau pepohonan di Camping Ground Wana Jonggol, Pakem, pada 20-22 Juni 2024, terdengar gelak tawa dan sorak-sorai yang memecah keheningan alam. Bukan sekadar berkemah biasa, ini adalah momen istimewa bagi Sanggar Anak Alam (Salam) Nitiprayan.

Kemah Akbar yang diselenggarakan tahun ini menjadi saksi bisu perjalanan 24 tahun Salam dalam membangun pendidikan alternatif yang humanis dan berwawasan lingkungan.

Lebih dari 350 peserta, mulai dari siswa Kelompok Bermain (KB) hingga SMA, orang tua, fasilitator, hingga alumni, berkumpul dengan satu tujuan, yaitu mempererat tali persaudaraan dan membangun kehidupan bersama yang lebih bermakna.

Di tengah hiruk-pikuk persiapan tenda dan aroma masakan yang menguar dari kelompok-kelompok kecil di lapangan, tercipta sebuah simfoni kebersamaan yang menghangatkan hati.
“Gol besarnya kan bagaimana kita membangun hidup bebrayan. Bagaimana kita membangun kehidupan bersama itu memang tidak hanya wacana. Tidak hanya diomongkan,” ujar Sri Wahyaningsih, pendiri Salam saat ditemui, Sabtu (22/6/2024) di Camping Ground Wana Jonggol.

Wahya melanjutkan, dengan ide kemah ini otomatis terlihat kegotongroyongan, kerjasama, dan toleransi. Nah, itu semua tercapai dan ini kan kita juga terlihat guyub. Sehingga memang hal seperti ini tidak bisa hanya teori.

“Sehingga jadi memang harus dipraktikkan dan salah satu cara adalah dengan kemah bersama ini,” imbuhnya.

“Selain itu, kemah ini bukan sekadar acara tahunan bagi kami. Ini adalah wujud nyata filosofi pendidikan kami – bahwa belajar tak terbatas pada ruang kelas, dan bahwa setiap momen adalah kesempatan untuk tumbuh bersama,” kata dia.

Keunikan berkemah ini terletak pada sistem pengelompokan yang mendobrak batasan usia. Anak-anak dari berbagai jenjang pendidikan berbaur dalam kelompok-kelompok kecil, menciptakan ruang belajar yang dinamis dan inklusif.

“Inilah esensi dari Salam. Tidak hanya mendidik otak, tapi juga hati. Kami percaya bahwa setiap anak memiliki potensi untuk menjadi pemimpin, entah itu memimpin kelompok atau memimpin diri sendiri,” kata dia.

Jadi bagaimana juga yang besar bisa menjaga yang kecil, yang kecil juga bisa ambil bagian dengan yang besar dan ini tidak ada dominasi.

“Dengan pengelompokan ini, seorang siswa SMA bisa belajar kesabaran dari adik kelasnya, sementara si kecil belajar keberanian dari kakak kelasnya. Jadi selain belajar memimpin juga penting untuk belajar dipimpin,” jelasnya.

Salah satu inovasi paling menarik adalah Organisasi Anak Salam (OAS), di mana kepemimpinan tidak didasarkan pada usia atau tingkat pendidikan, melainkan pada kemampuan. Praktik ini mendobrak paradigma tradisional dan mengajarkan nilai-nilai demokrasi sejak dini.

Kemah akbar Sanggar Anak Alam Nitiprayan di Wana Jonggol, Sleman Yogyakarta. (muhammad zukhronnee ms/koranbernas.id)

Lebih dari sekadar bertahan hidup di alam, peserta kemah Salam belajar 'bertahan hidup' dalam masyarakat yang beragam. Mereka tidak hanya memasak makanan, tapi juga 'memasak' solusi untuk hidup berdampingan dalam perbedaan.

“Kami percaya bahwa toleransi dan kerja sama bukan hanya kata-kata indah dalam buku teks. Ini adalah keterampilan hidup yang harus dilatih sejak dini,” tambah Wahyaningsih.

Semua hal menarik untuk diambil hikmahnya dalam kemah ini, mulai dari persiapannya, mendirikan tenda, dan lain-lain. Persiapannya sendiri sangat menyenangkan. Anak-anak belajar tentang apa yang harus dibawa saat pergi selama dua hari, dua malam, atau bahkan tiga hari. Mereka belajar mengenai kebutuhan apa yang harus dibawa, termasuk bahan makanan yang cukup, yang juga menarik untuk dipelajari.

Tentang tenda, anak-anak harus mencari tahu siapa yang punya atau apakah mereka perlu menyewa. Jika perlu menyewa, mereka juga mencari informasi seputar biayanya. Ketika urunan, penting untuk mengetahui berapa uang yang diperlukan.

Menurut saya, semua ini menarik karena setiap bagian memiliki arti tersendiri. Praktiknya, setelah merencanakan semua ini mereka mendapat pembelajaran yang berharga buat.

Sementara Cesarius Anangga Pradiktya Tama, Ketua Forum Orang Tua Sanggar Anak Alam (ForSalam) menambahkan, Acara ini melibatkan seluruh warga Salam, termasuk karyawan sekolah, murid, orang tua, fasilitator, dan alumni.

Tujuan dan Dukungan Orang Tua Camping Akbar ini bertujuan untuk memupuk kebersamaan, mengasah kemandirian, dan mempererat hubungan antara siswa, orang tua, dan seluruh komunitas sekolah.

“Dalam pelaksanaannya, dukungan orang tua sangat diperlukan. Oleh karena itu, OAS mengajak ForSalam untuk turut serta membantu mengadakan acara ini,” imbuhnya.

Salah satu aspek menarik dari camping ini adalah pengelompokan siswa dari kelas 4 SD hingga SMA ke dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 8-9 anak. Dalam kelompok ini, siswa belajar untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan saling mendengarkan, meskipun mereka berasal dari jenjang yang berbeda.

"Hal ini memberikan kesempatan bagi siswa yang lebih tua untuk memimpin dan adik-adik yang lebih muda untuk belajar mendengarkan dan mengikuti arahan," kata dia.

Kegiatan luar kelas seperti ini bukanlah hal baru di Salam, namun camping kali ini memberikan pengalaman berbeda bagi anak-anak. Mereka belajar betapa pentingnya mengenal seluruh warga sekolah, tidak hanya teman sekelas, tetapi juga semua fasilitator dan karyawan.

Acara ini juga diadakan untuk merayakan ulang tahun Salam yang ke-24, yang dirayakan pada Jumat (21/6/2024) malam dengan berbagai penampilan menarik.

Saat malam tiba, api unggun menjadi pusat perhatian. Di sekelilingnya, cerita dan lagu mengalir, membaur dengan suara serangga malam dan gemericik sungai di kejauhan.

Seorang fasilitator, dengan malu-malu namun penuh keberanian, maju ke depan untuk membacakan puisi yang ia tulis sendiri. Tepuk tangan riuh rendah menyambutnya, menciptakan momen haru yang tak terlupakan.

Ketika fajar menyingsing di hari terakhir, ada rasa tidak rela yang terpancar dari wajah para peserta. Namun, mereka pulang dengan hati yang penuh dengan pengalaman, persahabatan baru, dan pemahaman lebih dalam tentang arti kebersamaan.

Saat tenda-tenda dibongkar dan tas dipanggul, Camping ground Wana Jonggol kembali ke ketenangannya. Namun, jejak-jejak kebersamaan dan pembelajaran tetap tertinggal, bukan hanya di tanah tempat mereka berkemah, tapi juga di hati setiap peserta. (*)