Jogja Coffee Week, Perantara Bangkitnya Ekonomi Pasca Pandemi

Jogja Coffee Week, Perantara Bangkitnya Ekonomi Pasca Pandemi

KORANBERNAS.ID, BANTUL--Dua tahun pandemi Covid-19 dengan segala pembatasannya membuat banyak aktivitas berkerumun yang berpotensi menjadi sarana penyebaran virus corona ditiadakan. Selama itu pula perhelatan Jogja Coffee Week tidak diselenggarakan.

Kini seiring melonggarnya peraturan pemerintah dan kondisi pandemi Covid-19 yang kian terkendali, Jogja Coffee Week kembali hadir untuk menjadi perantara bangkitnya ekonomi Coffee Enthusiast dari hulu hingga hilir di seluruh Indonesia.

“Jogja Coffee Week akan digelar pada 2-6 September 2022 mendatang di Jogja Expo Center (JEC). Kegiatan kali kedua itu sengaja dilakukan untuk pengembangan usaha kopi mulai skala petani, UMKM hingga perusahaan besar pasca pandemi,” ujar Rahadi Saptata Abra, Ketua panitia Jogja Coffee Week kepada wartawan Rabu (13/7/2022).

“Setelah dua tahun pandemi, kami ingin mengembalikan usaha kopi dan segala turunannya, baik dari hulu, tengah dan puncaknya di hilir untuk kembali bertumbuh pesat,” imbuhnya.

Kegiatan tersebut, lanjut Abra diharapkan membantu percepatan ekonomi di dalam negeri. Selain itu memacu pertumbuhan ekspor kopi Indonesia keluar negeri yang pasarnya semakin besar dan terus bertumbuh.

“Kita perlu menguatkan dan menjaga dinamika ekosistem bisnis dan komoditi kopi,” kata dia.

Meski berbeda dari sektor lain yang terpuruk selama pandemi Covid-19, industri atau bisnis kopi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) justru berkembang cukup signifikan. Komunitas Kopi Nusantara mencatat, sebelum pandemi jumlah kedai dan warung kopi di kota ini sekitar 1.700 hingga 2.000 unit.

Selama pandemi naik hampir dua kali lipat hingga mencapai 3.000 lebih kedai dan warung kopi. Belum lagi sekitar 6.000 warung angkringan yang juga menjual kopi. Bahkan keuntungan penjual kopi di Yogyakarta bagian utara bisa meraup keuntungan sekitar Rp 6 Miliar per bulan.

Andri, Sekretaris Komunitas Kopi Nusantara menyebut, kebutuhan untuk industri kopi ini pun cukup besar. Dia mencontohkan untuk satu kedai kopi dengan delapan outlet misalnya, membutuhkan 3 ton kopi dalam waktu satu bulan.

Namun perkembangan yang positif ini seringkali tidak dibarengi kesejahteraan petani-petani kopi berskala kecil. Petani kopi yang hanya mempunyai lahan dibawah 1 hektar seringkali tidak diakui keberadaannya dalam karena tak memiliki sertifikasi produk kopi setingkat internasional.

Petani kopi berskala kecil, lanjut Andri, memang banyak yang tidak mempunyai tempat untuk unjuk gigi. Persoalan ini terjadi karena mereka tidak bisa memenuhi standar produk kopi di level internasional.

“Karenanya di tingkat lokal, mereka perlu didorong agar kopi-kopi kampung bisa meramaikan industri kopi di Indonesia,” ungkapnya.

Belum lagi ancaman industri kapital yang saat ini lari ke bisnis kopi di DIY. Pelaku usaha kopi berskala kecil bisa saja gulung tikar yang imbasnya pada petani kecil yang tak mempunya pasar untuk produk yang mereka hasilkan.

Ketua Komunitas Kopi Nusantara, Wisnu Birowo menambahkan, usaha kopi kecil dan petani kopi kecil sulit berkembang karena ada ancaman dari kapital besar yang semakin masif.

Menurut Wisnu, industri kopi dari hulu hingga hilir harus bergerak cepat bila tidak ingin tersingkir dari industri ini kedepannya. Apalagi perang antara Rusia dan Ukraina sedikit banyak mengganggu alur lalu-lintas ekspor impor kopi di Indonesia, termasuk di DIY.

Pengembangan kebun kopi petani di tingkat hulu pun harus diperkuat. Sebab seringkali kebutuhan industri kopi tidak bisa dipenuhi oleh petani kopi lokal.

“Sektor hulu hingga hilir harus digerakkan bersama-sama agar kita tidak terancam kapital-kapital besar yang saat ini banyak menyasar bisnis kopi seiring tingginya konsumsi kopi di tingkat global,” tandasnya.(*)