Hanya Laku Rp 19 Ribu, Petaka Petani Tembakau Terulang

Hanya Laku Rp 19 Ribu, Petaka Petani Tembakau Terulang

KORANBERNAS.ID, SLEMAN -- Kemarau basah yang ditandai turunnya hujan, membalikkan asa petani tembakau. Petaka yang terjadi tahun 2017 nyaris terulang, karena daun tembakau grade A (paling jelek) saat ini hanya laku Rp 19 ribu per kilogram. Tahun 2017, daun tembakau dengan grade yang sama hanya laku Rp 17 ribu per kilogram.

Ketua DPD Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DIY, Djuwari, mengatakan harga jual tembakau hasil panen tahun ini terasa pahit baginya. Meskipun Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah mengingatkan soal kemarau basah, Djuwari dan petani tembakau lainnya tidak menyangka harga jual tembakau panenan mereka jatuh sedemikian rupa.

Grade A hanya Rp 19 ribu. Kemudian grade B laku 25 ribu. Harga tembakau yang paling bagus hingga saat ini (grade C) hanya laku Rp 47 ribu. Ini terparah setelah tahun 2017. Harusnya untuk grade C setidaknya sudah laku di atas Rp 70 ribu per kilo. Bahkan, tembakau dengan grade F atau paling bagus, pernah mencatat rekor dengan harga di atas Rp 250 ribu per kilo,” kata Djuwari dalam jumpa pers usai Munas IV APTI di Yogyakarta, 28-29 September 2021.

Djuwari mengaku, harga jual tembakau saat ini jauh di bawah perkiraan semula. Meski dihantui kemarau basah, petani awalnya masih berharap setidaknya dapat menjual tembakau dengan harga yang lebih baik. Kalaupun tidak mampu mengejar harga seperti tahun-tahun keemasan tembakau, mereka berharap masih bisa meraih untung dari tanaman yang sejak dulu dikenal menjadi penyumbang besar penerimaan negara. “Tapi kalau harganya seperti ini, jelas kami bukan untung, tapi merugi,” katanya.

Keluhan yang sama juga muncul dari sentra-sentra tembakau di Jawa Tengah, Jawa Timur dan seluruh provinsi yang memiliki area tanam tembakau di Indonesia. Saat ini, ada sembilan provinsi yang memiliki area tanam tembakau. Selain DIY, Jateng dan Jatim, budi daya tembakau juga banyak terdapat di NTB, Bali, Lampung, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Sumatera Utara.

Petani tembakau dari Temanggung, Siamin, mengungkapkan harga daun tembakau dari daerah lereng Sindoro dan Sumbing tahun ini juga jatuh. Padahal, daun tembakau dari Temanggung ibaratnya adalah “tembakau lauk”. Sedangkan daun tembakau dari daerah lain adalah “tembakau nasi”. Istilah ini, kata Siamin, sudah dikenal cukup lama, sebagai bentuk pengakuan terhadap cita rasa tembakau dari Temanggung.

Sayangnya, saat ini harga jual tembakau petani di Temanggung jauh di bawah harapan. Tembakau kualitas terbaik yang dipetik saat ini hanya laku Rp 45 ribu per kilo. Padahal biaya yang dikeluarkan petani untuk menanam tembakau mencapai Rp 40 juta per hektar. Dengan asumsi perhektar lahan menghasilkan panen sekitar 1 ton, maka pendapatan yang petani dari budidaya tembakau tahun ini hanya Rp 40 juta.

Tekanan berat

Ketua Umum DPN APTI terpilih, Soeseno, mengakui tekanan yang dirasakan terhadap industri hasil tembakau (IHT) memang semakin berat. Dari mata rantai IHT, mata rantai paling hulu yakni petani yang selamai ini paling tertekan. Baik karena cuaca yang kurang bersahabat, maupun karena faktor kebijakan pemerintah yang tidak kunjung berpihak ke petani.

Soeseno mengatakan, dalam membuat kebijakan terutama cukai, pemerintah selama ini hanya memandang rokok dari sisi industri. Padahal cukai yang dikenakan terhadap rokok, akan langsung berdampak pada mata rantai tembakau sejak hulu sampai hilir. Mulai dari budidaya tanaman tembakau hingga pemasaran rokok, yang di dalamnya ada unsur petani, buruh dan karyawan pabrik.

“Dampak kebijakan cukai pada akhirnya sampai ke petani. Cukai naik akan mendorong kenaikan harga rokok. Harga rokok kemudian akan menyebabkan prevalensi merokok turun sehingga serapan tembakau dari petani juga turun. Kalau saya analogikan peredaran rokok turun 10 persen dari 340 miliar batang produksi pabrik, maka akan turun 34 miliar batang. Kalau 1 batang rokok butuh 1 gram tembakau, berarti akan ada 34 ribu ton tembakau yang tidak akan terserap. Kalau 1 hektar lahan menghasilkan 1 ton tembakau, berarti akan ada 34 ribu hektar area tanam yang tembakau hasil panennya tidak terbeli,” kata Seno.

Soeseno mengaku, persoalan cukai menjadi keluhan petani tembakau setiap tahun. Setiap tahun pula, petani dan asosiasi menyampaikan protes dan meminta pemerintah lebih bijak menentukan tarif cukai, dengan melakukan kajian menyeluruh melibatkan dan mendengarkan suara dari seluruh stakeholder terutama petani sebagai subyek utama.

“Tahun ini pun kami menyampaikan hal serupa. Kami langsung datang ke Istana Negara di Jakarta menyampaikan uneg-uneg terkait cukai. Tapi selama ini, suara kami seakan tidak terdengar dan tidak didengar. Padahal, dari jerih payah dan keringat kami para petani inilah, pemerintah mendapatkan pemasukan negara dengan nilai di kisaran Rp 190 triliun setiap tahun,” lanjutnya.

Soeseno mengingatkan, IHT adalah salah satu industri padat karya yang mampu menyediakan lapangan kerja hingga lebih dari 6 juta orang. Baik di sektor budi daya tembakau atau petani, hingga buruh dan karyawan pemasaran rokok. Saat ini, IHT baru berupaya pulih dari tekanan akibat pandemi, yang membawa dampak langsung pada penurunan volume industri hingga 9,7 persen di 2020. Dan di semester 1 tahun 2021, juga masih turun 5,7 persen.

“Kami berharap pemerintah jangan gegabah menaikkan cukai tanpa memperhitungkan dampak maupun tanpa memberi solusi kepada petani tembakau dan cengkeh yang juga kena imbas kebijakan ini,” tandas Seno. (*)