Ecoprint Tiga Dimensi, Tercipta Saat Pandemi

Ecoprint Tiga Dimensi, Tercipta Saat Pandemi

KORANBERNAS ID, CILACAP -- Dunia fashion yang tak bisa lepas dari gemerlap panggung peragaan busana, mati suri dihantam pandemi. Begitu pula panggung seni pertunjukan lainnya. Alih ruang pertunjukan pun belum bisa digarap maksimal saat setiap industri tergagap-gagap untuk bertahan hidup.

Kondisi ini tidak membuat desainer Indria Aryanto patah arang. Belasan tahun menggeluti dunia fashion, kondisi pandemi ini justru memicu kreativitasnya untuk menciptakan hal-hal baru.

Di saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mulai dilonggarkan, geliat industri pertunjukan kreatif pun mulai diuji coba. Kesempatan ini tidak disia-siakan Indria. Dengan memanfaatkan perca ecoprint yang banyak tidak terpakai,perempuan muda ini merangkainya menjadi karya ecoprint tiga dimensi (3D) yang unik.

Lembar demi lembar motif daun ketapang yang semula hanya menempel pada sehelai kain, di tangan Indria menjadi lembar-lembar motif daun timbul yang ditata harmonis pada karya busananya. Pemilihan teknik memasang lembar demi lembar hasil ecoprint pada karya busananya pun sangat berani. Bukan dengan menjahit atau lem kain yang konvensional, Indria memilih mengikatnya menggunakan kabel ties atau ty-rap.

"Dengan ties ini malah membuat karya saya lebih hidup, apalagi dengan memberikan warna batik pada kabel tersebut," terang Indria usai memamerkan karyanya pada lintasan runway pameran seni kriya di Hartono Mall, Rabu (20/10/2021) silam.

"Tapi ya pengerjaannya jauh lebih lama. Harus telaten. Proses treatment bisa memakan waktu dua minggu, hingga pakaian jadi membutuhkan waktu satu minggu. Jadi total untuk satu pakaian butuh waktu tiga minggu," imbuhnya.

Dia melanjutkan, inovasi ini diciptakannya saat melihat banyak sisa perca ecoprint yang terbuang di sekitarnya. Ecoprint 3D ini merupakan teknik baru bagi pecinta ecoprint. Ecoprint 3D ini pula diprediksi bisa menjadi salah satu fashion yang mungkin akan booming setelah ecoprint yang biasa.

"Saya melihat banyak daun-daun yang masih bisa dimanfaatkan untuk pewarnaan batik dan motif kain, tetapi hanya dibuang begitu saja. Maka dari itu saya berinisiatif dan ingin lebih berkreasi lagi dengan bahan tersebut," kata Indria.

Walau belum ada karya ecoprint 3D yang serupa dengan miliknya, perempuan yang memiliki warga binaan di dua desa ini enggan disebut sebagai pelopor ecoprint 3D.

Indria sebenarnya sejak kecil sudah akrab dengan tenun. Bagaimana tidak. Mediang eyangnya adalah salah satu pelestari tenun dengan menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) asal Klaten, Jawa Tengah. Sepeninggal eyangnya, perlengkapan tenun dibawanya ke Cilacap. Sejak itulah dia menekuni keterampilan warisan keluarga ini.

Berkibar dengan merek Indria Fabric and Apparel, kini dia memiliki warga binaan hingga dua desa di wilayah Kemiren, Kuripan Kidul, Cilacap. Termasuk mengajak teman-teman difable untuk terlibat membuat keterampilan tenun dan batik.

Dua tahun pandemi memang memukul usahanya. Hampir tidak event fashion yang bisa diselenggarakan. Namun inovasi ecoprint ini membuatnya bisa bertahan.

"Dengan tenun tiga dimensi, saya berhasil membuat warga binaan saya bisa padat karya di era pandemi. Teknik ecoprint ini mudah dilakukan daripada membatik tradisional yang rumit. Ecoprint ini bisa dilakukan oleh semua orang, semua kalangan dan tidak membutuhkan cost besar. Memang dibutuhkan ketelatenan dan waktu yang lebih lama," tutur Indira.

Menyasar pasar kebutuhan kain bagi instansi, dinas dan BUMN adalah salah satu cara Indria bisa bertahan. Walau tidak bisa memberikan bonus tahunan kepada para pekerja kreatifnya, paling tidak dia masih mampu memberikan gaji yang layak.

"Adalah tanggungjawab saya untuk mempertahankan mereka. Alhamdulillah tidak ada satu pun pekerja yang kami rumahkan selama pandemi," tutupnya. (*)