Dari Lorong Sunyi Beringharjo, Ada Pedagang Jual Kios hingga Penghasilan Buruh Gendong Rp 3.500

Dari Lorong Sunyi Beringharjo, Ada Pedagang Jual Kios hingga Penghasilan Buruh Gendong Rp 3.500

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA --  Pasar Beringharjo Yogyakarta sebagai salah satu tujuan wisata pendatang dari luar kota mencari batik murah meriah, kerajinan dan aneka makanan tradisional yang sempat “mati” sejak pandemi Covid-19, kini menggeliat lagi.

“Sudah ada kunjungan dari luar kota tapi belum banyak,” kata Nurhasanah, pemilik kios busana batik di lantai 1 los selatan. Hal itu dinyatakan benar oleh Budi Erwanto, petugas kamtib di ruang informasi ujung pintu masuk utama Pasar Beringharjo.

“Liburan 17 Agustusan banyak sekali pengunjung pasar berdatangan," kata Budi kepada koranbernas.id, Selasa (19/8/2020).

Setiap pengunjung wajib mentaati protokol kesehatan. Tidak ada yang lolos karena petugas dan perangkatnya antara lain disiagakan pada jalan masuk utama dari arah Malioboro.

Meski sudah cuci tangan dengan sabun dan bermasker, pengunjung tetap wajib masuk kotak sterilisasi. Menurut Budi, kotak tersebut bantuan dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan UMKM yang menaungi operasional pasar-pasar tradisional di Yogyakarta.

Dulu ketika awal pandemi, jalan masuk utama sempat  pernah jadi ajang permainan tradisional gobag sodor para karyawati saking sepinya.

Selasa silam, jalan itu sudah diramaikan pengunjung. “Ya lumayanlah bisa laku agak banyak,” kata Tari, karyawati salah satu kios busana batik jalan masuk utama.

Dia menyatakan benar umumnya karyawati masuk kerja bergilir supaya tidak kehilangan pekerjaan sama sekali. Biasanya bertiga. Saat itu dia hanya sendiri.

Lantai tiga

Meski sudah mulai banyak pengunjung, namun Hj Usnita menyatakan belum naik lantai tiga. Padahal toko busananya berada di lantai tiga dan dua. “Mungkin masih takut,” katanya menjawab pertanyaan koranbernas Rabu (19/8/2020)  melalui telepon.

Kondisi seperti itu membuat dia mengatur strategi. Tokonya tetap buka supaya tidak ada kesan tutup. Dulu zaman sebelum pandemi pada salah satu toko lantai tiga terdapat enam karyawati, sekarang digilir hanya dua.

Selain memberi kesan tetap buka, wanita asal Padang yang bersama suami berusaha di bidang busana itu berharap masih bisa memberi belanja karyawannya meski bergantian. Padahal dia punya 12 karyawati.

Belum lagi sewa kios yang lumayan mahal. “Alhamdulillah, mulai April Mei Juni hanya dikenakan 25 persen sewa,” ucapnya.

Sebetulnya pedagang berharap sampai Desember. Tetapi dinas belum bisa mengabulkan dan akan menarik sewa 50 persen. Masih ada juga beban cleaning service supaya lingkungan toko tetap bersih.

Meskipun kondisi saat ini berat, tetapi Usnita menyadari semua pedagang mengalami. Jadi dia tetap bersyukur dan berusaha tidak mengeluh supaya tetap didekatkan rezeki oleh Allah SWT.

Sebagaimana sekitar 6.000 orang yang setiap hari mencari kehidupan di pasar terbesar di Yogyakarta itu, dia berharap semoga pandemi segera berakhir dan situasi kembali normal lagi.

Nur Hasanah melayani pengunjung Pasar Beringharjo Yogyakarta. (arie giyarto/koranbernas.id)

Semua kena

Tak hanya pedagang besar kecil, pandemi ini juga berimbas ke menimpa semua kalangan. Sekitar 300 buruh gendong merasakan kehilangan penghasilan. “Pernah sama sekali tidak dapat buruhan. Pernah juga hanya dapat Rp 3.500. Habis untuk makan," kata Mbah Nyenil, salah seorang buruh gendong.

Untungnya wanita yang tinggal di Gamping itu diantar jemput sehingga tidak kehilangan biaya transpor. Lima orang buruh gendong yang siaga di jalan masuk lantai tiga sisi barat  itu menyatakan tetap bersyukur. Ada saja pihak yang memberikan bantuan sembako, makanan dan lainnya.

Menurut mereka, meski harapannya tipis namun tetap ke pasar biar hati senang bisa guyon bersama teman-teman.

Tri, karyawati kios batik jalan masuk utama Pasar Beringharjo Yogyakarta menawarkan daster kelelawar. (arie giyarto/koranbernas.id)

Terpaksa lepas kios

Kondisi lebih memprihatinkan dialami Nurhasanah. Kontrakan kiosnya habis. Untuk membayar sewa Rp 15 juta setahun dia tidak mampu. Setengah tahun dia berusaha jualan online, lumayan juga hasilnya.

Periode sebelumnya memang baru Rp 12 juta, tapi sekarang sudah Rp 15 juta. Angka yang terlalu berat untuk dipikulnya. Apalagi suaminye, Arief Subhan, tidak punya penghasilan tetap. Sebagai seniman jasa lukis foto, penghasilannya sangat tergantung pesanan.

Kini Nur memilih menutup kiosnya dan beralih bekerja pada orang lain yang sedikit risiko. Tapi ke depan dia tetap punya obsesi memiliki kios sendiri seperti dulu.

“Meski tidak tahu kapan akan terwujud,” kata wanita yang tinggal di Rumah Susun Projo Tamansari 1 Ring Road selatan  kepada koranbernas.id Kamis (20/8/2020).

Dia menyadari lorong-lorong sunyi di tengah keramaian Pasar Beringharjo tidak hanya dirinya yang melalui.

Sejak pandemi Covid-19 pasar tersebut hanya buka sampai pukul 16:00. Program buka sampai pukul 21:00 ditiadakan lagi. Saat jarum jam menunjuk pukul 15:00 sejumlah pedagang sudah mulai berbenah siap menutup kiosnya.

Memang, Beringharjo terkenal dengan batik murah meriah dan berkualitas. Sebut saja daster batik cukup mengeluarkan Rp 100 ribu dapat tiga potong.

Atau lebih mahal lagi, harganya bisa sampai di atas Rp 100 ribu. Blouse mulai Rp 60 ribu sampai jauh lebih mahal tergantung kualitas dan model.

Atau gamis mulai Rp 75 ribu sampai Rp 500 ribu ada di Beringharjo. Tinggal pakai, sleb  dicoba. Nggak pas nggak jadi dibeli bisa cari yang lain lagi. (sol)