Dampak Sekolah Online, Pelajar Mengalami Gangguan Psikososial

Dampak Sekolah Online, Pelajar Mengalami Gangguan Psikososial

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA  -- Kebijakan sekolah online atau daring atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ternyata berdampak siginifikan terhadap kondisi kejiwaan para pelajar. Di satu sisi sekolah online ada kelebihannya di sisi lain menimbulkan mudarat. Tidak sedikit pelajar mengalami gangguan psikosial.

Fakta itu terungkap saat berlangsung Forum Diskusi Wartawan DPRD DIY bertema Kesiapan pembelajaran tatap muka DIY, Jumat (11/12/2020), di DPRD DIY. Hadir sebagai narasumber Sekretaris Komisi D DPRD DIY Sofyan Setyo Darmawan, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY Didik Wardoyo serta pakar pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof  Arif Rahman.

“Kondisi ini sangat memprihatikan. Kami berpikir keras mencari solusi masalah psikososial ini. Anak-anak bosan, sedih, tertekan, merasa tidak nyaman, bingung dan merasa kesepian. Angkanya di atas 80 persen. Anak SMP paling parah mencapai 96 persen karena seusia mereka masih labil,” ungkap Sofyan.

Menurut dia, realita yang dialami pelajar di Provinsi DIY selama masa pandemi Covid-19 itu merupakan hasil kajian Komisi D DPRD DIY, yang salah satunya membidangi pendidikan.

Dewan turun langsung mewancarai responden terdiri pelajar guru, orang tua murid serta pengurus kampung. Diketahui pula, mereka sulit memahami sekolah online bahkan rata-rata angkanya lebih dari separo.

Penggunaan gadget 100 persen menggantikan buku, dalam tanda kutip, ternyata berdampak negatif. Terlihat nyata, anak-anak malas gerak alias mager. Sebenarnya, anak-anak saat sebelum pandemi tidak terlalu disibukkan dengan gadget akhirnya terjebak juga.

Selepas belajar mereka sulit melepasnya. Perangkat digital itu menempel saat jam pelajaran selesai, digunakan main game hingga berlarut-larut. Hape ibarat pegangan hidup. “Kecuali gadget dipaksa diminta oleh orang tua,” kata anggota Fraksi PKS ini.

Fakta lainnya, lanjut dia, ternyata di DIY ini angka pernikahan dengan dispensasi naik 500 persen. “Ini data dari Pengadilan Tinggi DIY,” ungkap Sofyan.

Bagi legislatif, inilah fakta lapangan yang terasa menyedihkan. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para pendidik yang sudah bekerja keras selama pandemi, semua pihak harus mencari solusi supaya pembelajaran bisa berjalan baik.

“Mari kita bersama-sama berkontribusi, ini tidak boleh dibiarkan. Kami berharap Disdikpora ada kebijakan sehingga persoalan psikososial anak bisa teratasi. Tidak cukup anak-anak diberi tugas dan dikontrol lewat hape. Selama bertahun-tahun mereka di sekolah, sekarang 90 persen di rumah. Orang tua juga tidak siap mendampingi,” paparnya.

Di Provinsi DIY jumlah pelajar SMA lebih kurang 50 ribu murid, SMK 86 ribu, SMP 100 ribu lebih dan SD 280 ribu murid.

Mengenai persiapan pembelajaran tatap muka, Didik Wardoyo menambahkan pihaknya pekan depan diundang rapat di kementerian membahas pembukan kembali sekolah, Januari 2021.

Khusus DIY, kata dia, tetap mengacu kebijakan Gubernur yaitu dimulai dari pembukaan kampus perguruan tinggi. “Kebijakan Bapak Gubernur sangat bijak, dimulai dari yang paling dewasa atau mahasiswa. Tatap muka mahasiswa akan menjadi bahan sangat berarti bagi kita untuk evaluasi. Nanti kita lihat yang mahasiswa seperti apa dan kita menyiapkan satu dua sekolah sebagai percontohan,” tambahnya.

Menurut dia, pembelajaran tatap muka tergantung pada kesiapan APD (Alat Pelindung Diri) masing-masing sekolah. ”Nanti ada Surat Edaran Gubernur. Sifatnya tidak serentak dimulai dari yang dewasa lebih dahulu. Kami saat ini menyiapkan SOP. Sebelum kami putuskan tatap muka, kita lihat Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) seperti apa, apakah terbiasa memakai masker, cuci tangan serta menghindari kerumunan dan jaga jarak,” ucapnya.

Yang pasti, kegiatan belajar mengajar (KBM) disertai dengan pembatasan jumlah siswa. “Mungkin bisa sepertiga,” ungkapnya.

Didik menambahkan, dengan dibukanya sekolah diharapkan masalah psikososial yang dialami para pelajar di DIY bisa sedikit terkurangi. Dia tidak bisa membayangkan kondisi serupa yang terjadi di daerah lain.

Prof Arif Rahman mengakui sekolah daring mengakibatkan ekses psikologi bagi siswa, orang tua maupun sekolah. “Siswa stres karena terkungkung di rumah. Bukan hanya stres tapi juga ada persoalan moral,” ungkapnya. Ini menjadi keprihatinan apalagi DIY merupakan garda terdepan moral.

Dia mencontohkan, para guru di Amerika Serikat (AS) juga mengalami gejala stres karena ternyata anak-anak cenderung malas datang ke sekolah. Anak-anak menganggap sumber informasi mudah diperoleh dari gadget sehingga menganggap guru sebagai sumber ilmu tambahan, bukan yang utama.

Menurut dia, kelak saat pandemi dinyatakan berakhir metode pembelajaran daring tetap akan menjadi sesuatu yang menarik bagi anak-anak. Dunia pendidikan tidak mungkin meninggalkan pembelajaran daring bahkan ke depan menjadi trade mark dan dianggap bergengsi.

Mencermati persoalan pendidikan terkini, Prof Arif memberikan solusinya. Program pembelajaran harus betul-betul dirancang dengan variasi, termasuk di dalamnya diatur proporsi serta porsi maupun rombel (rombongan belajar).

Satu kelas isi berapa murid perlu ada analisis yang lebih tepat. Begitu pula pilihan waktu apakah harus pagi. Untuk jenjang SD dan TK bisa juga menggunakan metode guru tidak harus datang ke sekolah namun bisa menggunakan tempat-tempat alternatif misalnya taman kampung. (*)