Beratnya Menyandang Predikat Kota Batik

Beratnya Menyandang Predikat Kota Batik

KORANBERNAS.ID – Pada 18 Oktober 2014 Yogyakarta dinobatkan sebagai Kota Batik oleh World Craft Council (WCC). Predikat yang disandangnya itu selain membanggakan juga membawa konsekuensi yang terasa berat.

Setidaknya hal itu terungkap pada acara tumpengan Peringatan Hari Batik Nasional 2019, Rabu (2/10/2019), di Lantai 9 Grand  Keisha Hotel Yogyakarta.

Acara itu sekaligus sebagai persiapan diselenggarakannya Pameran Batik dan Pameran Litbang Kemenperin RI yang berlangsung Rabu hingga Minggu (9-13/10/2019) di Jogja Expo Center (JEC).

Apalagi UNESCO telah menetapkan batik sebagai masterpiece of the oral and intangible heritage of humanity atau warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan non-bendawi.

“Untuk mempertahankan penghargaan bagi Yogyakarta ini dilakukan dengan terus membina dan mengembangkan produk batik sehingga batik menjadi kekuatan budaya dan ekonomi DIY,” ungkap Roni Guritno, Sekretaris Dekranasda DIY.

Dirinya pernah ditanya oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X apakah batik sudah bermanfaat bagi masyarakat pembatik.

Inilah pentingnya upaya meningkatkan produktivitas dan kualitas produk batik, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, menciptakan lapangan usaha dan mengurangi kemiskinan.

Hadir pula dalam kesempatan itu Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda DIY Tri Saktiana, Wakil Sekjen Dekranas Pusat, para ketua Dekranasda Kabupaten/Kota se-DIY, sesepuh yang juga Pengasuh Komunitas Budaya Yogya Semesta, Heri Dendi, Wakil Ketua Dekranasda DIY Tazbir dan tamu undangan lainnya.

Yang pasti, DIY memang pantas menyandang predikat tersebut karena dinilai sudah memenuhi tujuh kriteria kota kerajinan dunia yang meliputi nilai historis, orisinalitas, upaya konservasi melalui  regenerasi, nilai ekonomi, ramah lingkungan, reputasi internasional dan konsistensi.

Roni menambahkan, pameran kali ini melibatkan 150 stan produk batik dan turunannya dari industri kecil menengah (IKM) di DIY dan berbagai daerah di Indonesia, termasuk dari instansi dan paguyuban batik.

Diadakan pula fashion show batik diikuti desainer dan IKM batik DIY dan nasional serta seminar pada Kamis 10 Oktober 2019 di Hotel Grand Dafam Rohan Yogyakarta. Peserta 100 orang dari DIY dan luar DIY.

Adapun narasumber dari Yayasan Batik Indonesia, Asosiasi Perajin dan pengusaha Batik Indonesia, Paguyuban Batik Sekar Jagad serta Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta.

Seperti diketahui, batik adalah kerajinan tangan sebagai hasil pewarnaan secara perintangan menggunakan malam (lilin batik) panas sebagai perintang warna dengan alat utama perekat lilin batik berupa canting tulis atau canting cap yang membentuk corak tertentu yang memiliki makna.

Dalam kesempatan itu Drs Sardi MPd sebagai penulis buku pelajaran membatik secara simbolis menyerahkan buku karyanya diterima oleh Tazbir SH M Hum dari Dekranasda DIY.

Buku mengenai pelajaran membatik itu dia tulis sejak 2009. Sebagai struktur bahan ajar untuk pelajar SD, SMP dan SMA total terdapat 19 bahan ajar.  ”Kami meneliti bolak balik Jogja Gedangsari,” kata dia.

Sardi bercerita mengenai Batik Gedangsari yang mendapat pengaruh dari Mataram kemudian dikembangkan di Kasunanan Surakarta dan juga Mangkunegaran. Perkembangan berikutnya batik Gedangsari Gunungkidul terpengaruh oleh batik pesisiran.

“Barangkali bermula dari Gedangsari dapat jadi contoh daerah lain. Penekanan kami batik dengan pewarna alam. Kami lebih fokus betul pewarna alami. Kami cukup lama menulis buku ini selama 7 tahun kurang 1 bulan. Kami belum puas,” kata Sardi.

Novel mewakili pihak Hotel Grand Keisha mengatakan hotel ini sangat peduli dengan batik. “Logo hotel sebetulnya kami aplikasikan ke batik. Di hotel ini kami tak sediakan minuman alkohol karena kami berpatokan pada garis imajiner Yogyakarta,” kata dia.

Dia juga bercerita mengenai batik Pekalongan yang dikuasai oleh tiga etnis yaitu China bagian pemasaran, Arab sebagai penjual bahan batik dan kain sedangkan etnis Jawa sebagai perajin. “Istilahnya  Arwana, Arab Jawa dan China,” kata dia.

Dia mengatakan, H Ahmad Djunaid adalah sosok yang menyatukan tiga etnis itu. Sedangkan Andi Djunaid selaku pemilik hotel ini merupakan cucu dari Ahmad Djunaid.

Perwakilan Grand  Keisha Hotel Yogyakarta menyambut peserta tumpengan Peringatan Hari Batik Nasional 2019, Rabu (2/10/2019). (sholihul hadi/koranbernas.id)

Hingga saat ini tiga etnis itu tetap bersatu sampai sekarang bahkan kemudian bekerja sama mendirikan koperasi Jasa Kospin. Sejak koperasi itu berdiri tahun 1973 tidak ada lagi perselisihan antaretnis di Pekalongan.

Pameran batik kali ini juga memperoleh dukungan dari Kementerian Perindustrian RI. Bahkan kabar gembira datang dari unit Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian yaitu Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB).

“Kami akan menampilkan teknologi Batik Analyzer, suatu alat dengan teknologi artificial intelligence yang dapat mendeteksi keaslian kain bermotif batik,” ujar Titik Purwati Widowati selaku Kepala BBKB.

Inovasi ini berawal dan kesulitan masyarakat membedakan kain batik dan tiruan yang beredar di pasaran khususnya membanjirnya produk impor tiruan batik dengan harga yang sangat murah.

Pada Pameran Litbang Kementerian Perindustrian mendukung Hari Batik Nasional dengan tema Lestari Tradisi melalui Inovasi itu dipamerkan inovasi teknologi yang mendukung industri batik dan unit unit litbang di bawah BPPI maupun perusahaan-perusahaan mitra BPPI.

Selain pameran, diselenggarakan juga Seminar Teknologi Industri Batik, Konsultasi Teknologi Industri Batik dan Penandatanganan MoU antara unit litbang BPPI dengan beberapa pihak dalam rangka mendukung industri batik nasional.

Pameran tersebut akan menampilkan hasil inovasi maupun program kebijakan dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Industri Kimia, Farmasi, Tekstil, Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (PUSLITBANG IKFTLMATE) Pusat Penelitan dan Pengembangan Industri Agro, Pusat Industri Agro, Pusat Standardisasi Industri Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB) Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik (BBKKP) Balar Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri (BBTPPD) Balai Besar Tekstil (BB) Balai Besar Industri Hasil Perkebunan (BBIHP), Dewan Serat Indonesia, PT Rekadaya Multi Adiprima, PT Kreasi Mandiri Wintor Indonesa (KMWD), PT Astra Otoparts, serta perusahaan mitra unit BPPI terkait.

Seiring dengan perkembangan teknologi, pembuatan batik tidak terbatas dengan menggunakan canting atau biasa disebut batik tulis. Batik cap yang dibuat menggunakan cap atau alat semacam stempel untuk mempercepat waktu pembuatan batik.

Pada pameran tersebut Balai Riset dan Standardisasi Industri (Baristand)  Padang menampilkan inovası zat pewarna alami untuk pewarna batik.

Zat warna alam tersebut diekstrak dan tanaman gambir yang diolah menjadi bahan pewarna batik menggantikan pewarna sintetis yang saat ini masih banyak diimpor dari luar negeri.

Sedangkan Balai Besar Tekstil ikut memamerkan hasil litbangnya yaitu Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) Dobby Elektronik.

Pengembangan desain struktur kain tenun untuk bahan baku kain batik menjadı lebih mudah dan praktis dengan menggunakan ATBM Dobby Elektronik, yang saat ini sedang dikembangkan versi terbarunya yakni perangkat Dobby Elektronik yang kompatibel dengan ATBM vang digunakan di IKM berbasis Internet of Things (loT).

Melalui inovasi ini proses desain motif dapat dikerjakan di mana saja, kemudian langsung terkoneksi ke operator ATBM dan dapat langsung ditenun tanpa harus membuat motif di papan paku dobby secara manual.

Sedangkan upaya pelestarian motif batik Nusantara sebagai kekayaan Indonesia dimplementasikan pula ke dalam teknologi tekstil berbasis digital berupa Mesin Rajut Seamless dan Mesin Tenun Jacquard, sehingga muncul kain tenun dan kain rajut dengan desain struktur bermotif batik. (sol)