Anggota MPR RI Cholid Mahmud Prihatin, Negara Sulit Maju Jika Menganggap Sepele Etika

Anggota MPR RI Cholid Mahmud Prihatin, Negara Sulit Maju Jika Menganggap Sepele Etika
Sosialisasi Pancasila, UUD Negara RI Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, yang diselenggarakan anggota MPR RI Cholid Mahmud, Jumat (26/5/2023), di Kantor DPD RI Perwakilan Yogyakarta. (sholihul hadi/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Anggota MPR RI Cholid Mahmud merasa prihatin dengan situasi akhir-akhir di Indonesia yang menyedot perhatian publik, terutama banyaknya pejabat penyelenggara negara tersandung korupsi, penyalahgunaan wewenang, suap menyuap. Semua itu bersumber dari etika. Negara sulit maju jika pejabat maupun masyarakat menganggap sepele bahkan mengabaikan etika.

“Peran masyarakat dan sosial media sangat penting untuk turut mengawal etika para pejabat ini. Banyak kasus bermunculan di negeri ini membuat miris, mulai dari kepolisian, Kementerian Keuangan, kasus yang diungkapkan Menko Polhukam Mahfud MD hingga subsidi mobil listrik,” ujarnya di sela-sela Sosialisasi MPR RI di Kantor DPD RI Perwakilan DIY Jalan Kusumanegara Yogyakarta, Jumat (26/5/2023).

Disebutkan, soal subsidi mobil listrik ini cukup menjadi perhatian publik sebab yang disubsidi adalah orang yang memiliki link dengan perusahaan. “Itu pantas nggak sih dilakukan oleh pejabat dari segi etika," katanya dalam sosialisasi Pancasila, UUD Negara RI Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI bertema Etika Pejabat Negara dalam Penyelenggaraan Pemerintahan.

Menurut Cholid, etika merupakan persolan publik. “Jika masyarakat kritis, pejabat yang tidak beretika pun akan berhati-hati. Daya tekan masyarakat penegakan etika menjadi penting," jelasnya.

Sebaliknya, apabila masyarakat sudah apatis terkait problem etika, orang yang dasarnya sudah tidak beretika akan semakin lelulasa. Terkadang orang buruk tidak bisa melakukan hal yang tidak beretika, tapi bisa melakukannya jika punya kesempatan.

"Jika kita tidak bisa mengubah buruk menjadi baik, setidaknya kita bisa mempersempit kesempatan berbuat yang melanggat etika dengan peran masyarakat yang semakin luas," tambahnya.

Anggota DPD RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) DIY ini mengungkapkan, sosial media punya peran strategis mengontrol perilaku etika pejabat.  "Misalnya ada mobil pelat nomor pejabat di jalan raya jalannya zig zag lalu diviralkan. Artinya sekarang ini sebenarnya kapasitas publik untuk bisa membangun kesadaran etika sudah sangat luar biasa," ujarnya.

Anggota MPR RI Cholid Mahmud. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Cholid berharap dengan kemudahan teknologi, masyarakat gampang melakukan kritik hal-hal tidak sewajarnya. Sosial media dinilai efektif . “Banyak ketidakpantasan berlalu lalang dengan nyaman di hadapan kita,” kata dia.

Cholid berpendapat, kasus-kasus besar yang muncul itu berawal dari sosial media, bukan karena pekerjaaan atau kerja lembaga. "Pintu masuknya dari sosmed sehingga menjadi pilar berikutnya dalam penegakan etika," ungkapnya.

Selaku narasumber, Guru Besar Departeman Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Wahyudi Kumorotomo menyampaikan, kemajuan bangsa tergantung dari pejabat. Penyelenggara setelah diberi amanah jika mengkhianati dengan mengambil, menyalahgunakan keuangan negara, mengggadaikan kebijakan untuk kepentingan sempit, maka jangan berharap negeri ini akan maju.

Menurut dia, akar masalah pejabat tidak beretika dari dua sisi. Pertama, para penyelanggara banyak negara tidak memahami tugas pokok untuk ikut memakmurkan rakyat. “Kedua, bisa jadi masyarakat kita ini jangan-jangan toleran pada korupsi, penyalahgunaan wewenang, suap menyuap," ujarnya.

Pada tahun politik ini, Prof Wahyudi berharap masyarakat bisa menjadi pemilih yang cerdas dan betul-betul menegakkan etika. Adanya kecerungan money politics atau serangan fajar hendaknya disikapi masyarakat secara lebih dewasa.

"Warga tetap menggunakan hak pilihnya, tidak berdasarkan pada besar kecilnya amplop tapi betul-betul memilih karena kepribadian pemimpin termasuk para caleg," ungkapnya.

Prof Wahyudi Kumorotomo. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Sangat berat

Dipandu moderator Wadji Rahman, sebagaimana disampaikan oleh Cholid Mahmud bahwa di atas fikih masih ada akhlak, lebih jauh Prof Wahyudi mengakui baginya etika merupakan topik yang sangat berat.

“Anak-anak muda bertanya, hari gini bicara etika?” ujarnya disambut tawa lebih dari 100-an peserta sosialisasi yang hadir dari berbagai kalangan.

Prof Wahyudi pada era 1980-an pernah menulis buku tentang etika. Waktu itu dianggap absurd, ternyata sekarang ini etika sangat diperlukan.

Etika tidak boleh dianggap sepele karena sifatnya universal dan sangat penting. Etika selalu relevan dan menentukan banyak hal. Negara bisa maju dan disegani atau sebaliknya menjadi terpuruk, sumbernya dari etika pejabat maupun warga negara.

Dia mencontohkan, kemakmuran dan kesejahteraan Jepang dengan Filipina pada tahun 1950-an seimbang, tetapi pada tahun 1970-an sampai 1980-an Jepang naik tajam meninggalkan Filipina.

Contoh lain, pada tahun 1950-an China juga sangat ketinggalan dengan Filipina tapi pada tahun 1999 mampu melampaui Filipina. Ini karena China sangat memperhatikan etika, salah satunya lewat komitmen memerangi korupsi dimotori Perdana Menteri Deng Xiao Ping waktu itu yang menyediakan 99 peti mati untuk koruptor.

Sebagian dari peserta sosialisasi MPR RI Cholid Mahmud bertema Etika Pejabat Negara dalam Penyelenggaraan Pemerintahan. (sholihul hadi/koranbernas.id) 

Berkaca dari realita serta data-data riil tersebut, Prof Wahyudi menegaskan bangsa yang maju adalah bangsa yang bisa menghayati dan menegakkan norma dan etika. “Jika tak ingin terpuruk seperti Filipina dan ingin maju seperti China, harus dengan etika,” jelasnya.

Contoh lagi, India dan Mesir sebagai negara dengan peradaban berumur lebih 2.000 tahun, karena tidak menjadikan etika sebagai landasan pokok berbangsa dan bernegara, akhirnya hingga sekarang sulit menjadi negara maju.

Sebaliknya, negara-negara seperti  Singapura, Kanada, Australia, Selandia Baru bisa lebih maju padahal modalnya tidak seberapa. Ada lagi, negara Swiss yang hanya memiliki 11 persen daratan yang bisa ditanami saat ini menjadi penguasa produk cokelat dunia. Lagi-lagi, karena tidak mengabaikan etika.

Sebagai perbandingan, di sini bikin pabrik ngemel pejabat, bikin usaha ruwet karena faktor penyelenggara negara tidak profesional. Padahal bahan baku cokelat produk negara Swiss diambil dari Indonesia termasuk dari Mamuju dan Kulonprogo.

Prinsip, kata Prof Wahyudi, diabaikannya etika, kejujuran, akhlak, integritas dan tanggung jawab menjadi pangkal semua masalah korupsi di Indonesia.

“Kalau penyelenggara negara masih seperti ini, maka bermasalah. Mohon maaf, semua partai politik di Indonesia pernah terlibat korupsi kecuali partai baru yang belum punya kursi di DPR,” ungkapnya. (*)