Aksara Jawa Lima Terindah di Dunia
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Tak pernah disangka aksara Jawa Hanacaraka diakui oleh kalangan internasional. Bahkan aksara Jawa masuk lima aksara terindah di dunia. Selayaknya warisan nenek moyang ini dijaga tetap lestari.
Fakta ini terungkap saat digelar talkshow Digitalisasi Aksara Jawa, Senin (22/3/2021), di Ballrom Grand Mercure Hotel Yogyakarta. Rangkaian dari Kongres Aksara Jawa (KAJ) I Yogyakarta yang berlangsung hingga 26 Maret kali ini dihadiri tiga pembicara.
Mereka adalah KPH Notonegoro selaku Penggagas Kongres Aksara Jawa, Prof Dr Yudho Giri Sucahyo dari PANDI serta Yustinus Kristanto W dari Badan Standardisasi Nasional (BSN).
“Aksara Jawa termasuk lima terindah di dunia. Selayaknya kita merasa bangga dengan hal ini,” ungkap Prof Giri Yudho Sucahyo.
Pada talkshow yang dipandu moderator Faizal Nur Singgih tersebut, Prof Giri memaparkan aksara bisa berkembang jika penuturnya semakin banyak. Pertanyaannya, pada era digital ini bagaimana?
Dia menjelaskan, dimulai tahun lalu PANDI menghadirkan internationalise domain name, inisiatif ICANN. Nama domain tidak hanya Latin namun bisa menggunakan nama domain beraksara lokal.
Muncul ide di dalam domain Indonesia id bisa ditulis dengan aksara Jawa. Permohonan itu ternyata ditolak. Walaupun secara teknis siap namun ditemukan penggunaan aksara Jawa pada ranah digital belum banyak.
Meski demikian dia yakin pengguna bahasa Jawa tidak akan punah karena penuturnya mencapai 70 juta. Aksara Jawa akan punah jika tidak ada program terstruktur. “UU No 24 Tahun 2009 tentang Pemajuan Kebudayaan rasanya belum cukup untuk regulasi pelestarian aksara daerah,” tambahnya.
Kenapa? Menurut dia, di dalam regulasi nasional itu terdapat undang-undang pelestarian budaya namun petunjuk teknisnya belum lengkap, sehingga diserahkan kepada pemerintah daerah.
Sejauh ini pemerintah daerah yang mengeluarkan regulasi tentang pelestarian aksara daerah baru DIY dan Bali. Sebagai gambaran, tujuh aksara daerah sudah terdaftar di Unicode. Harapannya Kongres Aksara Jawa ini memantik daerah lain mengadakan acara serupa.
Prof Giri menambahkan aksara Jawa yang digunakan di platform digital perlu mengacu standar. Berkaca dari aksara di China, pada tata tulis aksara Jawa boleh terdapat dua standar. Perlu disepakati mana yang dipakai dalam standar ranah digital, kemudian diajukan ke Unicode.
Menurut dia, aksara Jawa memang terdaftar di Unicode namun baru diakui untuk pemakaian histori, pendidikan, dekorasi. Artinya, belum diakui sebagai alat komunikasi. “Ngarsa Dalem (Sultan HB X) mengatakan aksara Jawa harus dihadirkan pada anak milenial yang lebih akrab dengan dunia layar bukan alat tulis,” tandasnya.
Salah tulis
Sedangkan KPH Notonegoro menjelaskan, Kongres Aksara Jawa I Yogyakarta sebenarnya sudah direncanakan sejak tiga tahun lalu. Ini bermula dari beberapa guru dan komunitas Aksara Jawa sowan ke Kridhamardawa dan berdiskusi tentang permasalahan di masyarakat tentang Aksara Jawa.
KPH Notonegoro mengakui penggunaan Aksara Jawa semakin berkurang, ditandai nama-nama jalan maupun spanduk beraksara Jawa keliru penulisannya.
“Kongres direncanakan berlangsung tahun lalu secara luring, karena pandemi baru terlaksana sekarang secara luring dan daring,” ujarnya.
Dejak tahun 1950 terdapat 200 aksara lokal yang hilang disebabkan tidak terpakai lagi. Bukan tidak mungkin aksara Jawa akan hilang jika sudah tidak ada lagi pemakainya.
KPH Notonegoro mengusulkan ada talkshow sebelum sidang komisi. Harapannya kongres ini tidak hanya menghasilkan kesepakatan secara teknis saja namun ada hal yang perlu didiskusikan terkait harapan yang lebih tinggi.
Memang ada kendala namun jangan sampai kongres ini hanya meributkan beberapa masalah bukan prinsipil yang dikhawatirkan justru menghambat aksara Jawa tetap lestari.
“Masalah-masalah yang masih diributkan di masyarakat umumnya tata tulis. Masing-masing mempunyai pedoman tata tulis yang berbeda. Masalah ini penting namun bukan tujuan utama kongres. Hanya syarat agar aksara Jawa tetap lestari dan diakui tingkat internasional. Tidak semua bahasa sekaligus punya aksara. Aksara Jawa adalah hal yang luar biasa kita miliki. Jangan sampai hilang,” tegasnya.
Memang, penyusutan penggunaan aksara Jawa berlangsung sangat cepat berkaitan dengan tekanan politik dan sebagainya.
Sekali lagi dia menegaskan jika masih ribut berkutat pada perbedaan pendapat tentang penulisan aksara Jawa, dikhawatirkan generasi milenial merasa tidak nyaman dengan adanya aksara Jawa dan secara pelan-pelan enggan menggunakan. Melalui kongres ini pegiat aksara Jawa diminta mengajak anak muda menggunakan aksara Jawa.
Yustinus Kristianto menjelaskan, aksara daerah yang masuk Standar Internasional ISO/IEC (Universal Character Code) pertama adalah aksara Bali, setelah itu aksara Jawa dan Batak. Indonesia sudah berupaya mendaftarkan domain beraksara daerah.
Satu yang perlu diperjuangkan saat ini adalah ISO 10646:2020 dan Unicode. Terdapat tiga cara agar aksara Jawa bisa diakui secara internasional. Yaitu, terdapat website beraksara Jawa yang aktif, buku-buku beraksara Jawa serta dukungan pemerintah daerah. (*)