Wartawati Senior Arie Giyarto Terbitkan Buku Catatan Kecil Seorang Jurnalis

Wartawati Senior Arie Giyarto Terbitkan Buku Catatan Kecil Seorang Jurnalis

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Jurnalis senior asal Yogyakarta, Hj Arie Giyarto, menerbitkan buku tepat di usianya 72 tahun. Peluncuran buku berjudul Catatan Kecil Seorang Jurnalis ini berlangsung di D’Senopati Hotel Yogyakarta, Jumat (6/3/2020).

Acara yang dipandu Pemimpin Redaksi Koran Bernas, Putut Wiryawan, dengan pembicara Romo V Kirdjito dari Magelang itu tidak hanya dihadiri rekan-rekan sesama jurnalis tergabung Paguyuban Wartawan Sepuh Yogyakarta (PWSY) tetapi juga sejumlah tokoh di DIY.

Di antaranya, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr dr KRT Adi Heru Husodo MS DCN DLSHTM, Bupati Sleman periode 2000-2010 Ibnu Subiyanto, anggota DPRD DIY 2004-2009 Nasrullah Krisnam, tokoh masyarakat Drg Ircham Machfoedz maupun Wakil Rektor III Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY) Puji Qomariyah S Sos MSi mewakili Rektor Prof Dr Edy Suandi Hamid MEc.

Arie Giyarto didampingi putri-putrinya, menantu serta cucu, menyampaikan buku berisi kompilasi tulisan feature mengenai pariwisata, pertanian, kesehatan dan umum itu dimaksudkan sebagai warisan bagi anak cucu.

Ada ungkapan masyhur di kalangan tokoh-tokoh pers dari masa ke masa, bagi wartawan buku ibarat mahkota. “Mudah-mudahan buku ini menjadi warisan monumental, siapa tahu menjadi inspirasi wartawan-wartawan muda,” ujarnya.

Karya-karya yang dihimpun oleh editor Sholihul Hadi dan penata aksara Muhammad Zukhronnee MS itu hanyalah sebagian kecil dari gambaran perjalanan karier jurnalistik Arie Giyarto selama 50 tahun, terhitung sejak dia menerima SK Wartawan pada 1 Juni 1968 dari Harian Berita Nasional Yogyakarta.

Lebih dari setengah abad menjalani profesi sebagai wartawati, Arie Giyarto mengenal asam garam kehidupan jurnalistik. Pelajaran yang perlu diingat wartawan zaman sekarang adalah terus berkarya tanpa pandang usia.

Selain itu, juga harus memegang teguh prinsip kejujuran sebagaimana pesan almarhum Drs Abdurrahman sebagai Pemimpin Redaksi Harian Berita Nasional dan R Subadhi sebagai Wakil Pemred kala itu. Ini karena profesi wartawan memang banyak godaan.

Di Yogyakarta waktu itu hanya ada tiga wartawati, secara nasional berdasarkan data PWI era 1970-an wartawati hanya ada 1,8 persen.

“Menurut Pak Sofyan Lubis (alm), Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada zamannya, ibarat angka wartawan itu hanya angka nol. Justru karena nol itulah wartawan bisa membesarkan kalau ditaruh di belakang angka dasar. Tetapi sebaliknya bila ditaruh di depan bisa mengecilkan. Dengan bekal utama kejujuran yang ditanamkan sejak awal, alhamdulillah saya tidak terjebak di sana. Semua tulisan berdasarkan fakta,” papar Arie Giyarto.

Arie Giyarto memberikan buku untuk cucunya, Shafatya Harmi. (yvesta putu sastrosoendjojo/koranbernas.id)

Putut Wiryawan menambahkan, buku karya Arie Giyarto setidaknya menambah jumlah buku yang diterbitkan di Indonesia. Dia prihatin rendahnya literasi di negeri ini. Anak-anak sekarang tahan berjam-jam dengan gadget tapi tidak bisa bertahan lama saat membaca buku.

Dia menyebut karya-karya jurnalistik ibu dari dua putri yaitu Wahyu Titisari dan Trantri Sekaratri itu, memotret realitas kehidupan.

Romo V Kirdjito menyambut baik terbitnya buku Catatan Kecil Seorang Jurnalis. Dia menilai sebagian dari karya-karya jurnalistik Arie Giyarto dari tahun 2017 sampai 2019 yang terhimpun di buku tersebut menggambarkan sosok Arie Giyarto yang memiliki energi positif.

Hingga sekarang, peraih penghargaan Dharma Karya Kencana dari BKKBN Pusat (2013) ini masih tetap menulis di www.koranbernas.id.

Sebenarnya, sambung Putut, masih ada ribuan tulisan Arie Giyarto, termasuk karya-karya yang mengantarkannya sebagai juara nasional empat tahun berturut-turut, 2005-2008.

“Bila dalam satu bulan Hj Arie Giyarto minimal menghasilkan dua feature saja, maka dalam 50 tahun akan ada 1.200 feature. Bayangkan, setebal apa buku yang semestinya diterbitkan,” kata dia.

Hanya saja, sebagian besar kliping berita dokumentasi koran cetak yang dikumpulkan dari waktu ke waktu tidak berhasil diselamatkan. Kliping tulisan Tajuk Rencana bertema peranan wanita yang menyabet juara pada 1994, juga tidak berhasil ditemukan.

Gempa besar 27 Mei 2016 meluluhlantakkan dokumentasi yang tersimpan. Rumah Arie Giyarto ambruk. Malamnya diguyur hujan deras. Lengkap sudah kliping bercampur lumpur dan reruntuhan bangunan, menjadi bubur.

Arie Giyarto lahir di Yogyakarta 6 Maret 1948 dengan nama Ari Sabariyah binti Djazuli Sastrowigeno. Mulai menulis di berbagai surat kabar tahun 1966. Menikah 30 Juni 1970 dengan Giyarto, PNS Pemda DIY. Sejak itu menggunakan “nama tua” Arie Giyarto. Suami meninggal 8 Agustus 2010.

Sewaktu duduk di bangku Sekolah Rakyat Negeri Tamansari Yogyakarta, dia memang senang menulis. Nilai mengarang selalu bagus. Tidak pernah kurang dari 8. Ketika di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Negeri Yogyakarta, Arie Giyarto selalu meraih rangking tertinggi nilai Stenografi. (*)