Rusdi Suwarno Kembali akan Ditetapkan sebagai Tersangka Kasus GOR Cangkring
KORANBERNAS.ID, KULONPROGO – Kejaksaan Negeri Kabupaten Kulonprogo akan segera menetapkan Rusdi Suwarno sebagai tersangka korupsi pembangunan GOR Cangkring. Meskipun permohonan praperadilan Rusdi dikabulkan hakim tunggal Happy Tri Sulistiyono, dan penetapan Rusdi sebagai tersangka dinyatakan tidak sah, tetapi Kejari Kulonprogo terus bekerja keras mengumpulkan alat bukti. Dengan tambahan alat bukti itu, Rusdi bakal kembali ditetapkan sebagai tersangka.
Kepala Kejari Kulonprogo, Kristanti Yuni Purnawanti kepada koranbernas.id Selasa (30/11/2021) malam mengatakan, pihaknya dalam waktu dekat akan kembali menetapkan Rusdi sebagai tersangka.
“Penetapan tersangka akan segera kami lakukan, karena telah ada minimal alat bukti yang sah sesuai Pasal 183 dan Padal 184 KUHAP serta telah membuktikan semua unsur sesuai pasal-pasal yang disangkakan,” kata Tanti.
Lebih lanjut Kristanti menjelaskan, bahwa hasil penyidikan yang telah dilakukan sebelum penetapan tersangka tetap sah menjadi alat bukti.
“Pihak Kejari tidak dirugikan dengan adanya putusan praperadilan ini, karena pihaknya dapat menerbitkan kembali penetapan tersangka dengan alat bukti yang lebih banyak lagi yang telah diperoleh saat ini. Penyidikan akan lebih cepat selesai untuk selanjutnya dibawa ke sidang Pengadilan Tipikor Yogyakarta,” jelas Tanti.
Kristanti merahasiakan siapa saja yang berpotensi menjadi tersangka maupun strategi penyelesaian penyidikannya, supaya pihak lawan tidak mencuri start untuk menguji materi perkaranya.
“Untuk penetapan tersangka akan kita susun strategi dulu bersama tim penyidik dan segera akan kita sampaikan setelah semuanya lengkap,” terangnya.
Menyinggung keputusan hakim Pengadilan Negeri (PN) Wates yang mengabulkan permohonan praperadilan, menurut Tanti, hakim dinilainya tidak mempertimbangkan alat bukti yang diajukan penyidik.
“Hakim tunggal tidak mempertimbangkan bukti audit Inspektorat Daerah (Irda) yang ditunjukkan di persidangan oleh penyidik. Bahkan surat pengantar audit tersebut telah diajukan sebagai bukti tertulis. Hakim menyatakan hanya ada satu alat bukti keterangan saksi. Sedangkan, untuk alat bukti keterangan Ahli dan bukti petunjuk tidak dipertimbangkan sama sekali,” ungkapnya.
Kristanti tidak sependapat tetang pertimbangan putusan yang menyebutkan penyitaan yang dilakukan Kejari menyalahi prosedur. Hakim mempunyai analogi bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dalam waktu tujuh hari hari disamakan dengan penyitaan yang harus segera dimintakan persetujuan PN dalam kurun waktu tujuh hari.
“Ketika penyidik melakukan penyitaan maka harus segera meminta persetujuan pengadilan, tapi hakim praperadilan membuat satu analogi, harus tujuh hari. Ini kontradiksi dengan penetapan persetujuan penyitaan yang telah diterbitkan oleh pengadilan. Dengan adanya penetapan persetujuan penyitaan, berarti tindakan penyitaan tersebut sudah diuji dan dinyatakan sah oleh pengadilan, mengapa kemudian Hakim Praperadilan memberikan pertimbangan yang bertentangan? Jika salah tentunya tidak akan terbit penetapan persetujuan penyitaan,” ujar Tanti.
Tanti menegaskan bahwa Pasal 38 ayat (2) KUHAP memberikan pengecualian, di mana dijelaskan bahwa apabila dalam keadaan mendesak penyidik dapat melakukan penyitaan terlebih dahulu tanpa harus meminta ijin dari Ketua Pengadilan Negeri. Hanya terkhusus untuk benda bergerak dan setelahnya wajib melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk memperoleh persetujuan. (*)