PSPPR UGM Ungkap Paradoks Pembangunan Pariwisata DIY

PSPPR UGM Ungkap Paradoks Pembangunan Pariwisata DIY

KORANBERNAS.ID, SLEMAN – Kepala Pusat Studi Perencanaan Pembangunan Regional (PSPPR) Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Ir Bambang Hari Wibisono MUP MSc PhD, mengungkap ada paradoks pembangunan pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

“Paradoks pembangunan pariwisata dan pengendalian kawasan lindung ini menjadi isu besar, perlu ditindaklanjuti dengan kebijakan, perencanaan dan perizinan,” ujuarnya pada konferensi pers di sela-sela Workshop Manajemen Pengembangan Wisata Berkelanjutan di Kawasan Lindung, Rabu (23/3/2022), di UC Hotel UGM Bulaksumur Sleman.

Kegiatan ini merupakan rangkaian dari seminar serial dan workshop yang diselenggarakan PSPPR UGM bekerja sama dengan Program Studi Magister Perencanaan Wilayah dan Kota (MPWK) UGM, Ikatan Ahli Perencana (IAP) DIY serta Forum Diskusi Kritis Media Yogyakarta.

Saat Focus Group Discussion, peserta dibagi tiga grup. Grup satu membahas perencanaan pengembangan dan pengelolaan aset wisata daerah, grup dua membahas masalah perizinan dan pengendalian wisata di kawasan lindung DIY sedangkan grup tiga mendiskusikan kolaborasi dalam pengelolaan kawasan  wisata di kawasan  lindung Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kali ini, panitia mengundang narasumber Ketua Komisi B DPRD DIY Dr Danang Wahyubroto SE MSi, Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) DIY Gusti Kanjeng Ratu Bendara, Drs Irawan Jatmiko MSi dari DPMPT Gunungkidul, pengusaha  destinasi wisata Wulanperi Gunungkidul Aminudin Azis serta I Made Agus Aryawan ST MT dari DPMPTSP Kabupaten Badung Bali. “Mudah-mudahan poin-poin penting yang didiskusikan ini menjadi rujukan di tingkat nasional,” kata Prof Bambang.

Sebagai daerah tujuan wisata, DIY memiliki destinasi wisata dengan ciri alami yang khas dan unik. Selama dua dekade terakhir, tempat wisata baru bermunculan, mulai dari pantai berpasir, pantai berbukit, sungai, relung bawah tanah maupun perbukitan.

Pada satu sisi, potensi sumber daya alam itu memberikan manfaat bagi investor, pemerintah daerah maupun masyarakat di sekitar lokasi, pada sisi lain sebagian lokasi wisata itu terletak pada kawasan lindung yang memiliki risiko kerusakan lingkungan atau risiko keselamatan bagi pelaku wisata.

Menurut Prof Bambang, wilayah DIY yang dikaruniai keindahan sumber daya alam serta budaya tidak boleh disia-siakan untuk kepentingan pariwisata.

Namun demikian, pemanfaatannya harus betul-betul cermat sebab kekayaan bukan untuk jangka pendek melainkan akan diwariskan kepada generasi selanjutnya. “Konsens kita, sumber daya alam bisa kita jaga kelestariannya dan diwariskan kepada  generasi berikutnya,” ujarnya.

Sepakat dengan Prof Bambang, Danang Wahyu Broto mengakui paradoks yang terkesan sarkastis itu terjadi karena adanya hambatan komunikasi antara pemerintah dengan stakeholder pariwisata.

Sebenarnya, kata dia, regulasi sudah lengkap. Pemda DIY pun sudah membuka peluang. “Ini masalah keterbatasan komunikasi. Jangan berpikir pemerintah itu penguasa tetapi pelayanan masyarakat. Investasi dan perizinan kawasan lindung bisa ditindaklanjuti,” tandasnya.

Sependapat, Gusti Kanjeng Ratu Bendara juga mengakui masih ada gap di antara stakeholder pariwisata akibat terputusnya komunikasi di tingkat bawah, termasuk di antara kabupaten/kota sebagai pemilik destinasi. BPPD DIY berupaya merapatkan gap tersebut supaya tidak terputus.

Dalam kesempatan itu, Leksono Probo Subanu MURP Ph D selaku penasihat PSPPR UGM menyampaikan perlunya pelaku wisata di DIY membentuk sekretariat bersama (sekber) pariwisata.

Gagasan tersebut diilhami cerita sukses Sekber Kartamantul (Sekretariat Bersama Yogyakarta, Sleman dan Bantul) yang sempat memperoleh pengakuan internasional.

“Apakah kita bisa membuat semacam itu (sekber) untuk pengembangan masa depan pariwisata kita. Tentu, bukan besok langsung jadi,” ujarnya.

Semua narasumber sepakat, berbagai stakeholder pengembangan pariwisata di DIY harus siap menghadapi kemungkinan membanjirnya arus wisatawan ke provinsi ini, menyusul dibukanya akses dengan dibangunnya JJLS (Jalur Jalan Lintas Selatan), tol maupun bandara Kulonprogo, YIA. (*)