Proyek Ini Tak Seindah Nama Aslinya

Proyek Ini Tak Seindah Nama Aslinya

KORANBERNAS.ID, GUNUNGKIDUL --  Nama Desa Menanti terdengar enak di telinga. Gambar-gambar yang tersusun di kepala adalah suasana desa yang menyenangkan. Tapi apa mau dikata, proyek tersebut kini tak seindah nama aslinya bahkan bisa disebut sebagai proyek gagal.

Setidaknya inilah penilaian Ketua Komisi D DPRD DIY,  Koeswanto, saat mengadakan kunjungan kerja ke lokasi proyek yang berada di kawasan lereng perbukitan wilayah RT 08 RW 02 Dusun Doga Desa Nglanggeran Patuk Gunungkidul, Selasa (28/1/2020).

Proyek Desa Menanti mulai ditangani Kementerian Sosial pada 2015. Di lokasi itu berdiri rumah-rumah yang dihuni para pemulung. Saat ini kondisinya terkesan mangkrak. Sejumlah rumah tidak lagi berpenghuni. Dari 40-an unit rumah rata-rata sudah tidak layak huni.

“Satu yang berada di pojok utara itu ambrol atapnya. Kami minta Pemda DIY segera koordinasi dengan pusat agar masalah ini tidak berlarut-larut,” ujarnya kepada wartawan.

Sehari-harinya, rumah bagi para pemulung di DIY itu dihuni lima keluarga dari 24 orang yang tinggal. Selebihnya memilih tinggal di Kota Yogyakarta. Mereka rata-rata bekerja di jalanan, seminggu sekali pulang.

Pada kunjungan kali ini Koeswanto didampingi wakil dan sekretarisnya, Umaruddin Masdar serta Sofan Setyo Darmawan maupun para anggota terdiri dari Imam Priyono D Putranto, Joko B Purnomo, Rita Nurmastuti, Imam Taufik, Ahmad Baihaqy Rais, Ika Damayanti Fatma Negara, Syukron Arif Muttaqin, Rany Widayati dan Muhammad Yazid.

Koeswanto menyampaikan, ada masalah lain yang tidak kalah pelik menyusul Pemda DIY mempersilakan para penghuni Desa Menanti pergi. Area tersebut akan dijadikan tempat pelatihan ketrampilan.

“Dari pengakuan pemilik rumah yang kita temui, mereka sejak awal dinyatakan sebagai pemilik rumah. Ini kan tambah runyam, proyek ini dulu digambarkan sebagai transmigrasi dari kota ke desa,” ungkapnya.

Kenapa gagal? Menurut Koeswanto, kegagalan itu terjadi karena tidak terjalinnya sinergi maupun koordinasi antara Kementerian Sosial dengan Pemda DIY dan Pemkab Gunungkidul.

Dijadwalkan, komisi yang membidangi kesejahteraan masyarakat ini mengundang pihak terkait untuk mencari solusi mengenai kepemilikan aset yang belum diserahkan ke Pemda DIY.

Kepala Seksi dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Dinas Sosial DIY,  Widianto, secara terus terang mengakui program Desa Menanti tidak berjalan sukses karena kordinasinya baru sebatas di atas meja. Selain itu, proses pembangunannya menunggu izin penggunaan Sultan Ground (SG).

Daerah, lanjut dia, , hanya sebagai pelaksana. Semua perencanaan berada di pusat termasuk pemilihan lokasi. “Kawasan ini memang tidak layak huni. Fasilitas listrik dan air tidak tersedia. Area ini kawasan rawan bahaya. Sempat dianggarkan pembuatan tanggul namun dicoret karena ketidakjelasan pemilik aset,” terangnya.

Tidak hanya dewan maupun dinas sulit bersikap, Ketua RT 08, Suharno, pun merasakan kebingungan serupa terkait dengan keberadaan kawasan Desa Menanti.

Dia pernah diajak bicara dengan desa namun hanya rencana pengerjaan saja. “Program maupun siapa saja yang bertempat di sini, kami tidak pernah diajak berkoordinasi. Selama ini saya tidak tahu siapa saja yang tinggal di sini meski saling sapa saat bertemu,” tambahnya.

Mandi di sungai

Salah seorang penghuni Desa Menanti, Kasiyem, mengungkapkan sulitnya memperoleh air bersih. Perempuan ini rela berjalan kaki ke sumber terdekat di bukit seberang sejauh lebih kurang 800 meter. Untuk mandi dan cuci, dia berserta suaminya menggunakan aliran sungai di kaki bukit.

Meski begitu, warga Ponjong Gunungkidul itu menolak pindah walaupun Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah Kabupaten Gunungkidul mengeluarkan surat pada Maret 2019. Isi surat itu, kawasan tersebut tidak boleh dijadikan permukiman. Kasiyem sudah tiga kali menerima surat peringatan.

Kehidupannya sekarang dirasakan lebih baik dibanding sebelumnya saat menjadi pemulung. Apalagi rumah yang ditempatinya sudah teraliri listrik sejak setahun silam.

Penghuni lainnya, Mujinah, menambahkan hidupnya juga lebih baik setelah memperoleh pelatihan kuliner, daur ulang sampah serta menjahit. Sedangkan laki-laki dilatih pertukangan.

Lebih jauh Widianto menjelaskan dari lima daerah yang dijadikan percontohan yaitu Pasuruan, Malang, DIY, Padang dan Karangasem Bali, hanya DIY yang tidak berhasil. “Sempat berpindah lokasi dua kali, sebelumnya di Panggang dan Paliyan. Lokasi di Patuk ini menggunakan Sultan Ground seluas 5 hektar,” paparnya.

Widianto menambahkan Satpol PP DIY tidak bisa melakukan penindakan mengingat kawasan itu belum diserahterimakan dari Kemensos ke Pemda DIY. (sol)