Kewalahan, Relawan Ingin SOP Pasien Isolasi Mandiri Lebih Jelas

Kewalahan, Relawan Ingin SOP Pasien Isolasi Mandiri Lebih Jelas

KORANBERNAS ID, YOGYAKARTA -- Tingginya kasus terpapar Covid-19 hampir di seluruh kota di pulau Jawa, tidak terkecuali di DIY, tidak hanya membuat seluruh rumah sakit di DIY kewalahan. Juga relawan yang berkerja 24 jam tanpa henti. Ditambah abainya masyarakat menerapkan protokol kesehatan belakangan memperparah keadaan dan berkibat fatal bagi pasien Covid-19 yang benar-benar membutuhkan pertolongan medis dengan segera.

Beberapa pasien positif yang harusnya bisa dirawat intensif di rumah sakit, terpaksa melakukan isolasi mandiri (isoman) karena ruang-ruang penanganan darurat di rumah sakit DIY penuh dan tidak dapat langsung menerima pasien darurat. Meskipun tiap rumah sakit melakukan sistem buka tutup sesuai dengan kapasitas masing-masing, antrean pasien tidak bisa dihindari.

"Ini merupakan sumber persoalan dimana saat banyak orang terkapar dan terjadi stagnasi di rumah sakit, diperparah dengan krisis oksigen, maka menjadi masalah," terang Wahyu Pristianto Buntoro, Komandan Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD DIY, kepada wartawan secara daring, Kamis (1/7/2021).

"Puskesmas sebagai pintu pertama untuk melakukan triase menjadi kebutuhan, padahal ada saat [Puskesmas] tidak mampu lagi menentukan rujukan [karena rumah sakit penuh]. Parahnya lagi mereka menjadi sasaran kesalahan masyarakat saat harus [menentukan] dirujuk atau melakukan isolasi mandiri, karena simpul masalahnya tidak bisa terurai," paparnya.

Pristianto melanjutkan, pasien yang harus dirujuk di tengah antrian yang banyak, akhirnya tidak mendapatkan pelayanan yang maksimal. Secara prioritas pihaknya mengkhawatirkan pasien meninggal saat isolasi mandiri di rumah. Karena jika tidak ada sebuah kebijakan yang radikal terkait dengan isolasi mandiri di rumah, akan membebani posko dukungan yang di kabupaten/kota.

"Karena tanpa dukungan yang baik dan bisa memobilisasi, kelompok relawan pun akan tumbang jika tidak segera di diberdayakan secara baik," lanjutnya.

Selain itu, lanjut Pris, harus dibentuk tim jenazah infeksius di masing-masing kecamatan, karena sumber daya manusianya sebenarnya banyak dan siap melakukan pelatihan singkat. Banyak properti yang harus disiapkan, misal membelikan plastik dan dan sebagainya.

Posko dukungan diharapkan segera dibuka kembali. Ini merupakan suatu kesempatan yang bagus jika dijalankan.

"Gugus tugas yang dibentuk agar ada gerak yang serempak yang memastikan semua sesuai dengan OPD (Organisai Perangkat Daerah) masing-masing, kurang berjalan dengan baik maka diganti Satgas agar semua OPD ini menjadi satu rencana operasi, tapi kenyataannya sama saja, hanya berganti nama," tutupnya.

Agus Kenyung, salah satu koordinator relawan di wilayah Gunungkidul, menambahkan dengan kondisi lonjakan yang signifikan belakangan ini, permintaan pengantaran pasien dan pemulasaran di tiga kecamatan di wilayahnya tinggi. Kecamatan tersebut adalah Playen, Semanu dan Tepus.

Walau secara garis besar relawan belum paham benar dengan prosedur medis, mereka tetap siaga di tiga kecamatan tersebut. Alat Pelindung Diri yang stock lama dan belum berstandar keamanan yang jelas, menyebabkan pernah beberapa relawan terpaksa menolak permintaan pemakaman.

"Meski demikian, kami sedang fokus bagaimanan menangani teman-teman yang sedang isolasi mandiri di rumah. Salah satunya adalah memantau ketersediaan oksigen bagi yang membutuhkan," pungkasnya. (*)