Ketika Sampah-sampah Plastik Menjelma Menjadi Karya Seni

<i>Ketika Sampah-sampah Plastik Menjelma Menjadi Karya Seni</i>

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Perupa Laksmi Sitaresmi memamerkan karya seni cukilnya (engraving) di 101 hotel Yogyakarta, Delapan karya ini mengisi ruang yang biasa digunakan untuk bersantai di samping kolam renang hotel tersebut selama sehari penuh, pada Sabtu (27/8/2022).

Pameran tunggal ini dia beri judul "Pulunggana-Pulungsari" adalah sebuah tafsir visual atas suatu kesempurnaan yang ideal bagi Laksmi. Yaitu keseimbangan yang saling melengkapi satu sama lain. Antara dua sesuatu beda yang melebur dan berkumpul menyatu luar dan dalam, raga dan sukma, lahir dan batin, badan dan roh, sekarang dan kelak dan seterusnya.

"Nilai kesempurnaan pada masing-masing manusia adalah relatif tak sama, demikian juga saya," terangnya saat ditemui di sela-sela pameran tunggalnya.

Filosofi pulunggana pulungsari inilah kesempurnaan yang paling ideal menurut Laksmi. Jikalau tak ada salah satunya, maka diibaratkan bagaikan singgasana yang kosong, rumah tanpa atap, bumi tanpa ada bulan dan matahari dan seterusnya.

Filosofi ini digambarkan Laksmi dengan teknik cukil nan indah ke delapan karya berbahan dasar sampah plastik yang telah dilebur dan menjadi sebuah media baru penuh dengan warna-warna yang menarik. Tidak lagi ada yang menyangka bahwa warna beragam yang muncul dalam karya-karya Laksmi ini sebelumnya adalah sampah plastik yang dibuang oleh manusia.

“Segala macam sampah plastik bisa dijadikan karya, mulai dari sisa pembungkus makanan, perkakas rumah tangga, botol minuman hingga sparepart kendaraan bermotor dan banyak lagi. Dan bahaya dari sampah-sampah plastik itu banyak orang yang belum menyadari, adalah karena sampah-sampah plastik baik dari bahan-bahan yang keras atau tidak itu hampir tidak bisa untuk terurai oleh alam," terangnya.

"Semua karya 100% sampah plastik, jadi warna-warninya itu asli warna sampah plastik semua. Ada 8 karya berukuran 60x70 centimeter yang saya kerjakan setengah mati," sebutnya.

Setengah mati ini, Laksmi mendefinisikan proses yang digunakannya dalam membuat karya memakai teknik patung. Kemudian teknik tersebut ia kombinasikan dengan hasil riset tentang sampah plastik.

"Kebetulan hasil riset saya di magister itu adalah tentang sampah plastik, jadi karya saya banyak pengolahan kreativitas limbah sampah plastik. Tujuan saya adalah selain untuk mewakili ide dan konsep serta gagasan saya, saya juga ingin mengangkat derajat limbah sampah plastik setinggi-tingginya," kata dia.

Seperti yang dalam riset, Laksmi menyebut, bahwa kegunaan sampah plastik ini juga bisa digunakan untuk balok-balok pengganti aspal atau trotoar. Dalam pengalamannya, satu pick up sampah plastik itu bisa dijadikan balok ukuran kurang lebih selebar 1 meter dengan ketebalan tidak lebih dari 10 centimeter.

"Tapi karena saya adalah seorang perupa, jadi sebisa mungkin saya hanya bisa mengangkat derajat sampah plastik tersebut melalui karya-karya saya. Di samping memang untuk mewakili ide-ide saya," lanjutnya.

"Sementara untuk mengenai kesadaran itu ya susah memang kembali ke orang masing-masing. Saya bisa memulainya dari diri saya dulu, selanjutnya orang-orang terdekat, meskipun selama bergelut di sampah ini banyak yang nyinyir ke saya yang selalu mengumpulkan sampah-sampah plastik meskipun kecil-kecil," terang perempuan yang sudah melukis sejak bangku Sekolah Dasar ini.

Laksmi serius mengekplorasi sampah plastik ini sejak 2018, Sejak karya seni rupanya tersebut dipamerkan, banyak penikmat seni  yang terkecoh dari warna yang dihasilkan oleh proses kreatifnya mengolah sampah menjadi karya. Tidak sedikit yang mengira bahwa sampah-sampah tersebut dicat ulang, padahal sama sekali tidak. Semua warna yang keluar murni dari sampah-sampah plastik tersebut.

"Yang menjadi tantangan saat berkarya adalah saat membutuhkan warna yang sama, karena dari sekian banyak sama plastik itu tidak ada yang warna yang benar-benar sama. Pengalaman saya waktu mengerjakan karya yang di museum OHD setinggi 4 meter itu saya membutuhkan warna hijau. Tetapi tidak mendapatkan warna hijau yang sama seperti yang sebelumnya saya buat. Tetapi akhirnya dengan proses pencampuran dari karakter-karakter warna yang mirip itu malah menghasilkan karya atau warna yang sangat bagus dan keren," paparnya.

Mengenai kesadaran dalam menggunakan atau membuang sampah plastik sembarangan, Laksmi berpendapat sebenarnya pemerintah itu tidak kurang-kurangnya memberikan peringatan, sosialisasi dan kampanye untuk mengurangi sampah plastik. Pengolahannya menjadi barang-barang bernilai ekonomi pun sering dilakukan.

"Cuma ya, mungkin cara mengimbanginya itu (yang kurang, red). Padahal Indonesia itu kan sebenarnya terkenal dengan negara yang kreatif ya. Dan tentunya sebenarnya bisa untuk menjadikan sampah plastik itu menjadi sebuah karya yang bermanfaat atau sebuah karya seni," tandasnya.

Sementara Kurator Alia Swastika dalam tulisannya dalam katalog pameran Laksmi mengatakan, Laksmi Sitaresmi adalah perupa yang bekerja dengan olahan metafora dan imajinasi, menjadikan karya-karyanya banyak dikenal dalam gaya surealisme.

"Meski demikian, harus dicatat pula bahwa gagasan tentang surealisme sendiri berbeda antara definisi yang dikenal dalam sejarah seni Barat (yang mengedepankan tokoh-tokoh seperti Rene Margritte) dengan bagaimana konteks lokal di Asia," paparnya.

Yogyakarta, tempat di mana Laksmi sejak awal menumbuhkan kerja keseniannya, pada dasawarsa 90an sempat disebut sebagai tempat tumbuhnya surrealisme khas Yogyakarta, yang punya sejarah dan makna yang sangat spesifik dengan konteks kultural.

Pameran Laksmi Shitaresmi kali ini berjudul “Pulunggana Pulungsari” yang menandai pula perjalanan praktik kesenian Laksmi yang baru. Dalam kehidupan personalnya, di tengah membangun identitas diri yang baru, Laksmi Sitaresmi melihat bahwa ada perubahan pula dalam konteks artistik dan visi estetiknya.

"Pulunggana Pulungsari merupakan bagian dari Filosofi Jawa, yang bagi Laksmi merupakan sebuah cara untuk menemukan dirinya kembali dalam perubahan dunia yang begitu cepat," lanjut Alia.

Laksmi mengandaikan Pulunggana Pulungsari itu dalam beberapa bentuk simbol yang kemudian ia wujudkan dalam bentuk tiga dimensi yang lebih flat (seperti teknik membuat relief). Simbol-simbol itu ia letakkan pada kanvas yang telah ia beri torehan garis-garis dengan teknik engraving, seperti garis labirin yang berputar dan bertumpuk, menjadi ruang ruang yang seperti tak berbatas, saling terhubung dan mencari titik temu.

Garis-garis yang berpola melingkar itu dibuat secara repetitif, menjadi semacam laku meditasi bagi senimannya sendiri, yang mengejawantahkan perjalanan spiritualnya. Beberapa warna dasar, lanjut Alia, seperti (ke)merah(an), hijau, kuning, semburat biru dan ungu, menjadi penanda garis yang berbeda satu sama lain.

Alia melanjutkan, Laksmi Sitaresmi membuat relief-relief itu dengan material limbah plastik, yang memang pada masa kini menjadi bagian dari spirit penciptaan kontemporer untuk mengolah bahan-bahan terbuang yang merusak lingkungan.

“Ia mengolah plastik-plastik itu untuk melebur menjadi bahan yang memungkinkan simbol pulunggana pulungsari menyatu dengan lambaran engravingnya," kata dia.

Karya-karya berukuran kecil ini juga memberi ruang yang terasa lebih intim, di mana goresan dan jiwa si seniman seperti terbuka dan mengajak kita saling berbicara. Detail-detail karya dalam ruang terbatas ini juga tampak sebagai undangan untuk masuk dalam metafora yang lebih sederhana. (*)