Kalah dari Printing, Batik Lokal Sepi Peminat

Kalah dari Printing, Batik Lokal Sepi Peminat

KORANBERNAS.ID -- Kain batik impor dengan harga murah semakin banyak hadir di Indonesia dan menggantikan posisi batik tulis lokal. Akibatnya batik lokal tidak banyak diminati, terutama para milenial karena harganya yang lebih tinggi dibandingkan printing.

"Kebanyakan kaum milenial tidak peduli batik printing atau tulis yang penting enak dipakai dan murah," ungkap Dedi Prastyawan, perwakilan BPC HIPMI Bantul dalam Dialog Interaktif "Warisan Budaya Nusantara dan Solusi di Era Ekonomi Global" di Hotel Rich Jogja, Senin (23/9/2019).

Persoalan ini, menurut Dedi harus jadi perhatian serius. Edukasi terhadap batik-batik lokal pada generasi muda perlu terus dilakukan agar tidak semakin tersingkir.

Sebab saat ini, edukasi akan kekayaan khasanah budaya dan tradisi Indonesia itu tidak banyak dilakukan. Akibatnya banyak generasi milenial yang tidak paham akan pentingnya menjaga kelestarian batik lokal.

"Perlu edukasi terus menerus bagi milenial," tandasnya

Sementara pengamat UMKM dari Amikom Yogyakarta, Abidarin Rosadi mengungkapkan, salah satu faktor keterpurukan industri batik lokal khususnya batik tulis karena ketidakmampuan para pelaku industri memenuhi kebutuhan pasar. Banyak rodusen batik lokal yang fokus konsep pribadi mereka semata.

"Sejak 20 tahun saya geluti batik punya masalah klasik yaitu pemasaran, terutama di produsennya itu tergantung seleranya sendiri karena orientasi produksi bukan orientasi pasar," ungkapnya.

Sementara Intan Mestakaningrum dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan DIY mengungkapkan, pemerintah Yogyakarta terus berupaya mendukung keberadaan IKM batik di DIY. Berdasarkan data yang ada tercatat, sebanyak 715 unit usaha IKM di DIY dengan penyerapan pekerja sebanyak 2.760 orang.

"Kami lakukan pembinaan kelompok-kelompok IKM disentra batik, didampingi, pemberian peralatan sampai galeri pemasasarannya," imbuhnya.(yve)