Ada Ruang Gelap Pilkada yang Sangat Menarik

Ada Ruang Gelap Pilkada yang Sangat Menarik

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Dosen Tata Pemerintahan Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY),  Bambang Eka Cahya Widodo, membeberkan adanya ruang gelap di balik penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada). Ruang gelap itu sangat menarik bagi politisi maupun pemodal, semakin gelap semakin menguntungkan.

“Pada pilkada serentak tahun 2020 di masa pandemi ini terdapat 87 kabupaten/kota yang bantuan sosial (bansos)-nya ditengarai naik signifikan. Inilah yang ditengarai sebagai politik gentong babi,” ungkapnya pada Diskusi Kritis Media Yogyakarta # 5 bertema Pengawasan Anggaran Pemerintah yang Rawan Dimanfaatkan untuk Kepentingan Pilkada, Sabtu (29/8/2020), di Taru Martani Coffe & Resto 1918.

Bambang Eka Cahya yang pernah menjadi anggota Bawaslu ini memaparkan, politik gentong babi atau pork barrel politics bisa dimaknai calon memperoleh keuntungan politik dengan cara mengalihkan, dalam tanda kutip, anggaran untuk meraih dukungan suara.

Dia mengaku tidak bisa menemukan nama lain yang pas dan lebih halus menggantikan istilah politik gentong babi yang bermula dari Amerika Serikat (AS) era perbudakan itu. Pemilik budak susah mengatur budaknya agar mempercepat pekerjaan. Akhirnya dicari cara siapa bekerja paling banyak boleh mengambil daging yang tersimpan di dalam gentong. Cara tersebut kemudian digunakan di wilayah politik.

Dari pengalamannya bertugas di Bawaslu, Bambang melihat pemanfaatan anggaran pemerintah untuk keuntungan politik peserta pilkada bukanlah hal baru. Contoh paling gampang dan sering terjadi adalah bansos apakah itu berbentuk uang tunai, barang maupun fasilitas yang dibiayai negara.

“Dulu muncul isu BLT untuk kepentingan politik. Itu tidak salah karena rakyat kita sangat pragmatis begitu diberi bantuan kemudian dipilih. Maka yang diuntungkan petahana,” tambahnya.

Contoh lain, fenomena munculnya calon yang merupakan istri, suami atau anak dari kepala daerah yang berakhir masa jabatannya. Mereka diuntungkan bisa menggunakan APBN maupun APBD, misalnya untuk sosialisasi mendompleng kegiatan pemerintahan.

Bambang mengatakan, ruang gelap tersebut sulit tersentuh oleh KPU maupun Bawaslu mengingat dua lembaga ini bekerja pada wilayah tata kelola. “Persoalan yang kita bicarakan ada pada tata kuasa, hanya bisa diselesaikan dengan kesepakatan politik,” tandasnya.

Bambang juga melihat biaya politik hingga saat ini tetap berada di wilayah abu-abu. Tidak ada regulasi yang secara sungguh-sungguh mengaturnya. “Dana kampanye kita mungkin paling longgar se-dunia. Jika kita melihat hasil audit dana kampanye maka akan ketawa. Tidak ada laporan politik uang. Semua peserta jujur karena yang diaudit adalah kepatuhan bukan investigasi,” paparnya.

Dia menjelaskan, politik uang terjadi karena dua faktor. Pertama, pragmatisme masyarakat. Bahkan ada yang bertanya apa salahnya uang negara untuk membantu rakyat? Kedua, para politisi menggunakan sumber daya keuangan secara tidak terkontrol.

“Ruangnya gelap tapi duitnya terang. Uang dari sumber yang gelap itu sulit terkontrol. KPU dan Bawaslu tidak bisa menyentuh, kecuali dicermati KPK. Transaksinya disadap. Ada juga model lain transaksi NPWP nomer pira wani pira,” kata dia.

Menjawab pertanyaan bagaimana mengawasinya, Bambang mengakui luar biasa repotnya. Solusinya dimulai dari hulu yakni memperbaiki alokasi APBN dan APBD serta perbaikan tata kelola pemilu dan tata kuasa. “Rumit dan  susah betul. Wong aku ya ra dhong,” kata Bambang.

Dari hasil penelitian, kata Bambang, di luar Jawa banyak pemodal besar berada di belakang calon sedangkan di Jawa biasanya melalui proses perizinan. Jika semua itu tidak terkendali maka money politics tidak berkurang. “Itu yang terjadi hari ini. Jika tidak ditata, politik kita dikontrol pemodal,” kata dia.

Sebenarnya masih ada harapan lahirnya pemimpin yang baik asalkan prosesnya benar tidak melalui politik uang. Bawaslu sebenarnya mengetahui tetapi secara aturan tidak bisa berbuat apa-apa.

Bambang berkisah, pernah terjadi di Jawa Timur seorang warga melaporkan politik uang tetapi ketika uangnya hendak disita dia menolak. “Aku entuk ijol apa?” ujarnya menirukan ucapan pelapor.

Politik uang dianggap saling menguntungkan tetapi sebetulnya hubungan atau relasi antara pemberi dan penerima tidak berlangsung tulus melainkan saling menipu dan tidak saling percaya.

Dia melihat pada pemilu 2014 politik uang jor-joran tetapi pada 2019 mulai rasional. Sekali lagi Bawaslu tidak bisa masuk pada tata kuasa, wilayah abu-abu itu. Ditanya UU pemilu di mana? Menurut Bambang, undang-undang itu mengatur tata kelola bukan tata kuasa.

Menjawab pertanyaan soal netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), Bambang mengakui hal itu dilematis mengingat gubernur, bupati atau walikota adalah pembina ASN.

“Dalam bahasa saya mbulet. Itu realitanya. Pernah muncul usulan pembinaan ASN bukan di tangan bupati dan gubernur tapi tidak bisa terlaksana. Itu nasib-nasiban. Yang paling ideal ASN netral namun realita di lapangan tidak bisa. Ada ASN netral ya dibuang tenan. Pernah terjadi di luar Jawa, ada yang dibuang ke pulau paling jauh gara-gara tidak mendukung bupati,” ujarnya mencontohkan.

Bagaimana pun ASN punya peran penting karena mereka mengontrol dan mengeluarkan anggaran. Selain itu, di mata masyarakat ASN juga terhormat.

Pada bagian lain Bambang Eka Cahya mengungkap soal mahar politik. Dari pengalamannya di Bawaslu dirinya mengetahui proses mahar berlangsung mirip film drama politik The Mechanism. Saat pembicaraan inti, aturannya semua HP tidak boleh dibawa masuk ruangan. Itu sebabnya mahar politik tidak pernah bisa dibuktikan kebenarannya.

“Mereka tahu dari mana? Mereka menonton film The Mechanism,  kejadiannya di Brazil tetapi mirip di sini. Termasuk dalam film itu ada duit disimpan di tembok. Persis film The Mechanism,” katanya setengah bercanda.

Sedangkan Budhi Masthuri dari Ombudsman RI Perwakilan DIY menyampaikan penyalahgunaan anggaran bisa saja terjadi jauh sebelum pelaksanaan pilkada. Penggunaan dana sifatnya sangat halus.

Rabu silam, Ombudsman sudah mengadakan MoU dengan Bawaslu DIY untuk mencegah kemungkinan adanya potensi mal-administrasi pelayanan publik (sol)