Tanpa Tempat Tidur, Kisah Pilu Filantropis Asal Belanda Membangun Pusat Kesejahteraan Anak di Sumbawa

Bagi Fetter, ini bukan sekadar amal. Ini tentang martabat. Ini tentang pemulihan. Ini adalah masa kecil yang sesungguhnya, mungkin untuk pertama kalinya dalam hidup mereka

Tanpa Tempat Tidur, Kisah Pilu Filantropis Asal Belanda Membangun Pusat Kesejahteraan Anak di Sumbawa
Fetter bersama sejumlah anak yang ia tampung di Yayasan Peduli Anak. (dokumentasi Yayasan Peduli Anak)

KORANBERNAS.ID, SUMBAWA—"Seharusnya tidak ada anak yang tidur di lantai”. Begitu celoteh Chaim Joel Fetter, seorang filantropis asal Negeri Kincir Angin Belanda. Sejak hampir lima tahun silam, Fetter membangun Pusat Kesejahteraan Anak, yang dapat dimanfaatkan oleh 300 anak di Sumbawa.

Untuk membangunnya, pria ini jauh sebelumnya terlebih dulu mendirikan Yayasan Peduli Anak, di Lombok. Saat ini, proses pembangunan sudah mencapai 95 persen. Artinya, tidak lama lagi akan bisa dipergunakan sepenuhnya, untuk menampung 300 anak yang membutuhkan.

“Tapi, kami belum punya tempat tidur. Jika bantuan mendesak tidak segera datang, lebih dari 150 anak rentan di Sumbawa, mungkin tidak punya pilihan selain tidur di lantai rumah baru mereka,” kata Chaim Joel Fetter.

Menurut Fetter, Pusat Kesejahteraan Anak Peduli Anak di Sumbawa, sejatinya merupakan fasilitas yang bisa dibilang cukup memadai dan lengkap. Ruang kelas sudah siap, para ibu asuh telah dilatih, dan dua belas rumah indah berdiri kokoh. Namun sayangnya, semua rumah itu belum dilengkapi perabotan. Tanpa ranjang susun dan perlengkapan penting lainnya, fasilitas ini masih belum siap digunakan sepenuhnya.

Awal April, Fetter menulis email secara pribadi kepada CEO IKEA Indonesia, Adrian Worth, serta kepada Electrolux Professional, untuk menyampaikan harapan akan kemungkinan memberikan dukungan. Electrolux merespons dengan positif atas permintaan peralatan dapur profesional, yang akan sangat membantu dalam menyiapkan makanan untuk anak-anak setiap hari. Sementara itu, dari CEO IKEA Indonesia, sejauh ini belum ada jawaban. Namun Fetter mengaku sangat berharap uluran tangan dari IKEA, yang ia tahu pernah memberikan dukungan luar biasa setelah gempa Lombok tahun 2018.

“Dukungan itu sangat berarti bagi kami dan anak-anak di Lombok, dan kami percaya semangat tersebut tetap hidup hingga kini. Adapun untuk yang di Sumbawa ini, kami berharap IKEA bisa memberikan harga dasar bagi kami untuk bisa membeli ranjang, lemari dan perabot lainnya yang dibutuhkan,” ungkapnya.

Bagi Chaim Fetter, apa yang ia lakukan ini bukan hanya tentang Sumbawa. Ia melihat Pusat Kesejahteraan Anak ini sebagai cetak biru berskala nasional. 

“Jika kami bisa membuktikan ini berhasil, maka pendekatan ini bisa direplikasi oleh LSM, komunitas, bahkan pemerintah. Mungkin suatu hari nanti, tidak ada lagi anak Indonesia yang harus tidur di lantai, putus sekolah, atau mengalami kekerasan dan penelantaran,” lanjutnya.

Dengan peresmian yang tinggal beberapa bulan lagi, hanya satu dorongan terakhir memisahkan visi ini dan kenyataan. 

“Bangunannya sudah berdiri. Anak-anak sedang menanti. Yang kurang hanyalah satu tindakan kecil penuh kebaikan: tempat tidur untuk anak-anak,” kata Fetter lagi.

Siapa Fetter?

Hampir 20 tahun lalu, Fetter adalah seorang pengusaha internet sukses di Belanda. Namun,satu momen mengubah segalanya. Saat bepergian melakukan perjalanan backpacking di Lombok pada tahun 2004, ia bertemu Adi, seorang anak laki-laki bertelanjang kaki yang mengemis di lampu merah.

Adi telah kehilangan kedua orang tuanya dan tinggal sendirian di bawah selembar terpal.

“Saat itu hati ini seperti ditinju,” kenang Fetter. “Saya tidak bisa melupakannya saat pulang ke rumah. Apa artinya kesuksesan yang saya genggam kalau masih ada anak-anak seperti Adi yang menderita?,” kenang Fetter.

Hatinya tergerak. Saat ia kembali ke Belanda, Fetter memilih menjual perusahaannya dan kembali ke Indonesia. Bukan untuk cuti panjang, tetapi demi sebuah misi. Ia memutuskan untuk memeluk Islam, terinspirasi oleh kemurahan hati dan kehangatan orang-orang yang ditemuinya. 

Proyek pembangunan Pusat Kesejahteraan Anak di Sumbawa yang diinisiasi oleh Yayasan Peduli Anak. (istimewa)

“Bahkan keluarga yang sangat miskin, masih berbagi sedikit dari apa yang mereka miliki,” ujarnya. “Masuk Islam rasanya seperti menemukan keluarga dan makna hidup yang lebih dalam,” bebernya.

Namun, motivasi Fetter tidak semata-mata terinspirasi dari apa yang ia lihat, melainkan berakar dari pengalaman hidupnya sendiri. Setelah orang tuanya bercerai, ia ditempatkan di panti asuhan di Belanda saat berumur enam tahun. “Saya tahu rasanya menjadi anak yang tidak dipedulikan siapa pun. Perasaan diabaikan itu tidak pernah benar-benar hilang. Saya masih sering mimpi buruk, memimpikan saat orang tua meninggalkan saya di sana, dan saya berlari mengejar mereka. Saya bertekad untuk membangun tempat di mana anak-anak bisa pulih, disayangi, dan merasa seperti di rumah,” kata Fetter menceritakan pengalaman masa kecilnya yang getir.

Dari Lombok ke Sumbawa

Pada tahun 2006, ia bersama istri dan beberapa teman dekat, mendirikan Yayasan Peduli Anak dan membuka Pusat Kesejahteraan Anak pertama di Lombok. Dibangun di atas lahan seluas 2,2 hektar, fasilitas ini mencakup 14 rumah berkonsep keluarga, sebuah masjid, sekolah dasar dan menengah pertama, klinik kesehatan, lapangan olahraga dan kebun organik.

Setiap rumah diasuh oleh seorang ibu asuh terlatih, menciptakan lingkungan keluarga yang stabil dan penuh kasih sayang. Sejak saat itu, Yayasan Peduli Anak telah mendukung ribuan anak. Banyak di antara mereka yang telah lulus kuliah dan kembali bekerja di pusat ini sebagai guru, konselor, perawat, dan akuntan.

Pada tahun 2019, seiring dengan meningkatnya permintaan dan mencuatnya kisah anak terlantar di daerah terpencil, Yayasan Peduli Anak memperluas misinya ke Sumbawa, sebuah pulau tertinggal dengan akses layanan pemerintah yang sangat terbatas dan penelantaran anak merupakan hal tragis yang sayangnya lumrah terjadi.

“Ini sangat memilukan. Kami mendengar kisah anak-anak yang ditinggalkan karena orangtuanya menikah lagi atau pergi merantau untuk bekerja. Ada yang tidur di gubuk terbengkalai. Bahkan, ada yang tidak makan berhari-hari,” ungkap Fetter yang menyebut yayasannya ini meraih berbagai penghargaan nasional, termasuk Kick Andy Heroes Award dan Piagam Apresiasi dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

Bagi Fetter dan tim, fasilitas yang dibangunnya di Sumbawa, bukan penampungan biasa. Ini adalah sebuah desa anak yang sepenuhnya mandiri, dengan 12 rumah, sekolah, masjid, klinik kesehatan, sport center, dapur yang mampu menyiapkan 900 porsi makanan setiap hari dan kebun organik yang menyediakan buah serta sayuran segar untuk anak-anak. 

Fasilitas ini akan menyediakan perawatan menyeluruh bagi 300 anak, termasuk 150 anak yang tinggal penuh waktu dan 150 siswa harian dari desa-desa miskin di sekitarnya. 

Pusat Kesejahteraan Anak ini juga akan mempekerjakan staf lokal, membeli hasil panen petani sekitar, dan menciptakan efek berantai bagi perekonomian setempat.

Hingga kini, lebih dari 8.000 orang Indonesia telah berdonasi. Anak-anak sekolah mengadakan penggalangan dana dengan menjual aksesori buatan mereka, seperti gelang dan kalung dari manik-manik. Juga banyak masyarakat turut menyumbang setelah mengetahui misi dari yayasan ini melalui media sosial. Beberapa pemilik usaha lokal juga menyelenggarakan acara penggalangan dana. 

“Ini telah menjadi proyek milik Bersama. Bahkan orang-orang yang belum pernah ke Sumbawa ikut menyumbang, karena mereka percaya pada apa yang sedang kami lakukan. Juga ada sederet perusahaan yang telah memberikan dukungan. Termasuk ING Bank, PT Bayan Resources, TOTO, Signify, Broco, Avian Paints, Simu, dan Häfele turut berkontribusi melalui donasi meja belajar, material bangunan dan pendanaan. Ini bukan sekadar amal. Ini tentang martabat. Ini tentang pemulihan. Ini adalah masa kecil yang sesungguhnya, mungkin untuk pertama kalinya dalam hidup mereka,” pungkas Fetter. (*)