“Seribu Bayang Purnama”, Potret Pertanian dan Jeritan Petani di Negeri Agraris

“Seribu Bayang Purnama”, Potret Pertanian dan Jeritan Petani di Negeri Agraris
Diskusi dan screening film Seribu Bayang Purnama di Joglo Resto Njeron Beteng, Siliran Lor, Yogyakarta. (muhammad zukhronnee ms/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA--Film Seribu Bayang Purnama, karya terbaru dari Baraka Films, akan tayang serentak di bioskop seluruh Indonesia mulai 3 Juli 2025. Film yang disutradarai oleh Yahdi Jamhur ini bukan sekadar drama fiksi biasa, melainkan karya sinema yang sarat muatan sosial, menyuarakan jeritan para petani dan pentingnya pertanian berkelanjutan di negeri agraris seperti Indonesia.

Dengan mengangkat kisah seorang pemuda desa bernama Putro Purnomo (diperankan oleh Marthino Lio), film ini menggambarkan perjuangan generasi muda yang kembali ke desa dan berupaya menghidupkan metode pertanian alami di tengah dominasi praktik pertanian modern berbasis industri. 

Putro, anak dari petani tua bernama Budi (diperankan Nugie), menghadapi tantangan dari saingan keluarga, kendala sosial, hingga pertentangan cinta dengan Ratih (Givina Whani Darmawan), anak dari pemilik toko pupuk pabrikan yang menjadi rival keluarga.

“Film ini lahir dari kegelisahan kami terhadap kondisi petani yang selama ini kurang mendapat tempat dalam cerita besar bangsa,” ujar Yahdi Jamhur saat membuka sesi diskusi bersama publik dan screening film Seribu Bulan Purnama bersama akademisi, dan pelaku seni di Yogyakarta pada Minggu (21/6/2025) di Joglo Resto Njeron Beteng, Siliran Lor, Yogyakarta. 

“Kita tidak sedang membangun kisah pahlawan dalam arti sempit, tapi berusaha menunjukkan bahwa menjadi petani pun bisa punya martabat dan masa depan. Kita hanya perlu memperlakukan mereka setara,” tambahnya.

Yahdi, yang memiliki latar belakang sebagai jurnalis dan sinematografer dokumenter, membawa pendekatan visual yang kuat dalam penggarapan film ini. Ia juga menjelaskan bahwa pemilihan lokasi syuting di Bantul dan Sleman bukan tanpa alasan. 

“Kami ingin suasana desa dan kehidupan petani tidak sekadar menjadi latar, tetapi menjadi karakter yang hidup dalam cerita. Setiap sawah, ladang, dan rumah kayu punya narasi sendiri,” ungkapnya.

Dalam pengembangan skenario, Yahdi menggandeng penulis senior Swastika Nohara, pemenang dua Piala Maya dan peraih nominasi FFI 2014 untuk skenario terbaik. 

Naskahnya dengan cermat meramu isu-isu yang akrab dalam kehidupan petani seperti ketergantungan terhadap tengkulak, tingginya harga pupuk dan pestisida, serta minimnya akses modal.

Film ini disambut antusias oleh berbagai pihak dalam acara temu wicara dan peluncuran film yang dihadiri jajaran kampus dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Sekolah Pascasarjana UGM, ISI Surakarta, Universitas Veteran Yogyakarta, hingga Universitas Bina Darma Magelang. Hadir pula sejumlah tokoh masyarakat dan sejumlah pelaku seni dari berbagai daerah.

“Upaya kita adalah membangun kesadaran. Bahwa kalau bangsa ini mau mandiri, kita harus serius memperhatikan ketahanan pangan. Dan itu tidak bisa dilakukan tanpa menghormati petani. Saya percaya, film bisa jadi alat yang kuat untuk menyampaikan pesan ini ke lebih banyak orang,” tegas Yahdi. 

Yahdi juga menyampaikan bahwa seluruh keuntungan dari film ini akan disalurkan untuk program pemberdayaan petani. Program tersebut akan difokuskan pada pelatihan pertanian alami, akses distribusi hasil tani yang lebih adil, serta regenerasi petani muda di desa. 

“Kita tidak hanya ingin menginspirasi, tapi juga memberi dampak langsung,” katanya.

Dalam sesi penutupan, Yahdi mengajak para penonton yang hadir untuk tidak hanya menikmati film ini sebagai hiburan semata. 

“Pesan moral itu harus dikemas secara menarik agar bisa ditonton oleh banyak orang. Tapi setelah menonton, saya harap kita bisa berdiskusi, menyebarkan cerita ini, dan mungkin—memulai langkah kecil membantu petani,” tutupnya. (*)