Serapan Pupuk Bersubsidi di Bawah 70 Persen, Ini Sebabnya

Serapan Pupuk Bersubsidi di Bawah 70 Persen, Ini Sebabnya

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Wakil Ketua Komisi B DPRD DIY, Dwi Wahyu Budiantoro, menyayangkan serapan pupuk bersubsidi di Provinsi DIY di bawah 70 persen. Banyak faktor yang mempengaruhinya, salah satunya data tidak akurat.

“Dari diskusi dengan Kementerian Pertanian (Kementan) di Jakarta, pemerintah pusat memberi kuota pupuk bersubsidi kepada DIY berdasarkan permintaan pemda melalui data RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) yang diajukan,” ungkapnya, Selasa (15/12/2020).

Seperti diberitakan, akibat terjadinya kelangkaan pupuk DPRD DIY membentuk panitia khusus (pansus) pengawasan pupuk bersubsidi. Pansus bekerja untuk mencari solusi atas masalah tersebut.

Menurut Dwi, dari data Dinas Pertanian DIY  disimpulkan serapan pupuk Urea dari alokasi 41.007 ton  terserap  56,16 persen, SP 36  alokasi 2,815 ton  terserap  70,59 persen, NPK alokasi 26,127 ton terserap 74,53 persen, ZP alokasi 7,897 ton  terserap  62,84 persen.

Serapan pupuk di DIY di bawah 70 persen karena penentuan kuota daerah berdasarkan laporan dari pemda melalui Dinas Pertanian.

“Persoalan yang muncul adalah pemerintah pusat mensuplai pupuk bersubsidi 60-70 persen dari permintaan DIY,” kata dia.

Sebagai gambaran pada 2008 permintaan pupuk DIY sebanyak  64,998 ton. Tahun 2020 sekitar 77,260 ton kemungkinan dipenuhi 60 persen karena dinilai serapannya di bawah 70 persen. Yang sudah terealisasi pada 9 Agustus 2020 sebanyak 18,226 ton  dari rencana  alokasi 19,940 ton.

Kartu Tani

Mengenai Kartu Tani yang dimaksudkan untuk mengontrol penggunaan pupuk bersubsidi yang diberikan kepada petani, menurut Dwi, dari data yang ada DIY menerima 400.000 kartu tani dan telah terdistribusi.

Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2019  DIY tercatat DIY memiliki  8.793 kelompok tani dan 443 gapoktan atau gabungan kelompok tani.

Jika satu kelompok tani terdapat 10 petani maka jumlah petani di DIY  80.793 orang. “Data ini harus diverifikasi dengan jumlah Kartu Tani termasuk kriteria petani yang berhak atas kartu itu,” tandasnya.

Sayangnya, kata dia, model Kartu Tani belum tersistem dengan baik. BRI sebagai vendor juga belum tuntas mengedukasi para petani. Akibatnya sering terjadi persoalan di tingkat petani, BRI maupun kelompok tani dan gapoktan itu sendiri berkaitan dengan aturan dari pemerintah pusat.

Dwi berharap program kemandirian pangan yang selama ini digencarkan jangan sampai hanya omong kosong karena tidak adanya data yang jelas. “Kebutuhan pupuk berapa? Harus nyambung dengan lahan pertanian, jangan sampai pupuk berlebih lahan pertanian nggak ada,” kata dia. (*)