Mahasiswa dan Pakar Silang Pendapat Saat Diskusi Bedah KUHP
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Kalangan mahasiswa dan pakar serta perwakilan dari Kemenkumham, silang pendapat saat acara Diskusi Bedah KUHP, di Yogyakarta. Diskusi digelar Forum Badan Eksekutif Mahasiswa Daerah Istimewa Yogyakarta dengan tema “Menilik Pembaruan KUHP Sebagai Kemajuan atau Degradasi dalam Demokrasi”, Jumat (17/03/2023). Kegiatan dihadiri sedikitnya 45 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di wilayah DIY.
Diskusi menghadirkan sejumlah pembicara. Mereka adalah Muhammad Saleh, S.H., M.H (Dosen Peneliti Bidang Hukum UGM), Susanto Budi Raharjo, S.H., M.H (DPRD Kota Yogyakarta), R. Misbakhul Munir, S.Sos.I, M.H (Penyuluh Hukum Ahli Muda Kemenkumham DIY), Dwi Retno Widati, S.H, MPA (Penyuluh Hukum Ahli Muda Kemenkumham DIY) dan Abdullah Ariansyah (Koordinator umum Forum BEM DIY ).
Sebagaimana rilis yang diterima koranbernas.id, dalam pemaparannya, Penyuluh Hukum Ahli Muda Kemenkumham DIY, Dwi Retno Widati mengungkapkan, KUHP yang lama merupakan produk klasik kolonial yang tujuan dari pidana adalah balas dendam. Menurutnya, kendati banyak pula masyarakat yang bersama pemerintah mendukung KUHP baru, namun ia tak menyalahkan pihak-pihak yang kontra.
“Akan tetapi dari yang kontra, alangkah baiknya dalam penyampaian pendapat dimasukan adanya kajian. Tidak mudah dalam mengubah pola pikir masyarakat terkait sistem pemidanaan. Inilah perlunya edukasi yang tidak sebentar. Artinya secara terus-menerus untuk mengedukasi mengenai sistem pemidanaan yang ada di Indonesia,” ungkapnya.
Dwi mengungkapkan, dari banyaknya jumlah pasal-pasal hukum di Indonesia, pasal yang mengatur mengenai tindak pidana lebih sedikit. Dalam KUHP yang baru ini banyak sekali alternatif-alternatif pidananya.
“Akan tetapi ini juga sebagai PR (Pekerjaan Rumah) bagi kami untuk mengimplementasikan bagaimana cara pidana KUHP kita yang baru ini,” imbuhnya.
Penyuluh Hukum Ahli Muda Kemenkumham DIY, R. Misbakhul Munir menambahkan, KUHP yang baru masih dalam proses uji coba. Namun demikian perlu kesiapan untuk melaksanakannya.
“Uji kelayakan beserta KUHP ini mulai digunakan 3 tahun lagi setelah perubahan sistem pemerintahan. Kita harus bisa memaknai definisi mengenai perundang-undangan yang baru ini, yaitu berkaitan dengan harkat martabat manusia serta kebijaksanaan,” imbuhnya.
Di sisi lain Kordum Forum BEM DIY Abdullah Ariansyah dalam kesempatan yang sama menyampaikan tentang masukan mahasiswa terkait pasal-pasal yang dinilai kontroversial.
“Kritikan kami dari BEM DIY mengenai undang-undang yang baru permasalahan dimulai dari pasal-pasal yang kontroversial. Dan apakah pemerintah mau meracuni masyarakat dengan KUHP yang disahkan secara terburu-buru tanpa adanya uji dari masyarakat?. Jangan sampai demokrasi negara kita saat ini mengalami kemunduran,” ungkapnya.
Hal senada diungkapkan Muhammad Saleh. Ia mengatakan, bahwa di Indonesia ada istilah yaitu Demokrasi dan Nomokrasi. Dua bagian penting yang tidak dapat dipisahkan, ataupun tidak dapat berdiri sendiri.
“Bila demokrasi berdiri sendiri akan memunculkan negara yang otoriter. Dan apabila nomokrasi berdiri sendiri akan adanya keributan di negara itu sendiri,” ujarnya.
Ia menjelaskan, dalam hal kebebasan, masyarakat yang ada di Indonesia yakni masyarakat sipil kita mengalami gangguan. Indeks negara hukum Indonesia mengalami stagnan di bagian Civil Justice (peradilan sipil) dan Criminal Justice (peradilan pidana).
“Ada beberapa pasal KUHP, yang menurut saya ini berpotensi membuat masalah hukum yang ada di Indonesia. Contohnya dalam pasal 218 dan 231 KUHP,” kata Muhammad Saleh tanpa merincinya lebih lanjut.
Sedangkan anggota DPRD Kota Yogyakarta, Susanto Budi Raharjo menandaskan Indonesia sudah baik dalam konteks menyampaikan kebebasan pendapat, karena sudah diatur dalam perundang-undangan mengenai kebebasan berpendapat.
“Negara ini pun juga mengakui mengenai kebebasan berpendapat dari setiap orang,” ucapnya.
Dalam rancangan perundang-undangan, ada ruang partisipasi dari kelompok-kelompok masyarakat maupun akademisi. Ini yang kemudian bila selalu diperbaiki mengenai keterbukaannya, membuat rancangan perundang-undangan akan mendapatkan masukan guna kebaikan bersama.
“Partisipasi publik dalam merespon sistem pemerintahan yang ada, adalah guna mengoreksi sistem pemerintahan. Dan masyarakat bisa melaksanakan uji materi di Mahkamah Konstitusi. Perlu kita ketahui lembaga kita ini lahir dari hasil reformasi,” imbuhnya. (*)