Ekonomi DIY Makin Terpuruk Jika Kampus Tidak Segera Buka

Ekonomi DIY Makin Terpuruk Jika Kampus Tidak Segera Buka

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Potret pertumbuhan perekonomian Provinsi DIY triwulan dua tahun ini menunjukkan minus 84 persen. Indikatornya antara lain daya beli masyarakat merosot.

Salah satu cara keluar dari krisis adalah membuka kembali kampus-kampus perguruan tinggi disertai penerapan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Kebijakan ini akan menggeliatkan kembali usaha kos-kosan, jasa laundry, fotokopi, warung makan dan lainnya.

“Ini krisis terberat. Ekonomi DIY hampir 68 persen ditopang konsumsi. Pendorong konsumsi adalah pariwisata dan pendidikan. Ketika dua motor ini berhenti dampaknya ke mana-mana,” ungkap Miyono, Deputi Bank Indonesia Perwakilan Yogyakarta, Sabtu (25/7/2020), saat menjadi pembicara diskusi bertema Nasib UMKM, Antara Ketakutan dan Optimisme Pertumbuhan Ekonomi, Sabtu (25/7/2020), di Taru Martani Coffee & Resto 1918.

Dia didampingi Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudiana, Kepala Biro Administrasi Perekonomian dan Sumber Daya Alam Setda DIY, Ni Made Dwipanti Indrayanti, Cahyadi Joko Sukmono dari Asosiasi BDSI (Business Development Services Indonesia), pengurus Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Yogyakarta Y Sri Susilo serta Herry Setiawan dari Asita DIY. Hadir pula Wakil Ketua Komisi B DPRD DIY Dwi Wahyu Budiantoro dan anggotanya Nurcholis Suharman.

Miyono menyampaikan, salah satu indikator keterpurukan ekonomi DIY terlihat dari anjloknya penjualan kendaraan bermotor hingga minus hampir 62 persen maupun konsumsi listrik yang hanya tumbuh 5,98 persen.

Diharapkan, titik nadir itu mampu terlampaui. Mulai sekarang jangan ada lagi dikotomi antara kesehatan dengan ekonomi. Keduanya harus berjalan bareng.

Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudiana optimistis ekonomi DIY walaupun sudah berjalan namun belum full seperti semula. Setidaknya masyarakat dan pengusaha mampu bertahan kemudian bangkit kembali.

Huda mengusulkan, Pemda DIY segera mengagendakan pertemuan dengan para rektor perguruan tinggi secara bertahap. “Dari 140-an perguruan tinggi, yang gede-gede dulu seperti UGM, UNY diajak berembug bagaimana mahasiswa masuk lagi dengan protokol kesehatan,” ungkapnya.

Jika memungkinkan Pemda DIY memberikan insentif, misalnya rapid test dan swab gratis untuk mahasiswa yang masuk lagi ke Yogyakarta. Insentif serupa bisa diberikan ke sektor pariwisata.

“Yang terpenting siapkan protokol kesehatan. Betul, Covid-19 itu berbahaya tetapi mindset masyarakat pelan-pelan harus berubah. Wisatawan silakan masuk DIY dengan tertib sesuai protokol kesehatan,” ungkapnya.

Menurut dia, rumah sakit se-DIY juga perlu diajak duduk bersama memikirkan upaya pemulihan ekonomi. Lima bulan sejak Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi omzet rumah sakit drop hingga titik minimal 50 persen.

Sedangkan pengusaha diberikan kemudahan antara lain berupa insentif mengingat saat ini warga lebih senang bekerja memperoleh uang daripada diberi bansos.

Huda mengakui, kadang-kadang birokrasi menghambat aktivitas pengusaha, sebagian dari mereka akhir-akhir ini mengeluhkan susah mengurus perizinan.

“Kalau pemerintah nggak bisa membantu mohon jangan menghambat. Urusan dengan pemerintah kok sangat sulit,” kata anggota dewan yang punya latar belakang pengusaha itu.

Ni Made Dwipanti Indrayanti sepakat bansos dikurangi karena sifatnya hanya bertahan sebentar, begitu dibelanjakan langsung habis. “Nggak mungkin orang ditolong terus tetapi bagaimana mereka bisa mendapatkan pemasukan,” kata dia.

Kurangi rapat daring

Rencana besar Pemda DIY memulihkan perekonomian setelah lima bulan terpuruk akibat pandemi juga memperoleh dukungan dari para pelaku usaha.

Persoalannya, pemerintah sering mengadakan rapat secara daring atau online. Rapat-rapat virtual semacam itu sebaiknya dihentikan karena bisa menghambat pemulihan ekonomi.

“Kalau rapat daring terus maka ekonomi tidak bergerak. Pemda DIY agar mengurangi rapat-rapat daring,” ungkap Susilo.

Ini mungkin hanya contoh kecil. Dengan rapat tatap muka otomatis para pelaku UMKM memperoleh kesempatan memasok kebutuhan snack dan makan-minum peserta rapat.

Cahyadi melihat kesulitan yang dialami pelaku UMKM sudah sampai pada keinginan mengajukan pinjaman pakai agunan akte kelahiran anak-anaknya.

Terlepas dari simpang siurnya bantuan UMKM sebesar Rp 2,4 juta, menurut dia, tanpa bantuan pemerintah pun para pelaku usaha punya naluri bertahan dari krisis.

“Saya setuju, yang paling dibutuhkan saat ini adalah adaptasi pasar. Kalau tidak ada program pemerintah, mestinya UMKM diberikan kemudahan,” kata dia.

Baik Susilo maupun Cahyadi setuju sektor pariwisata dan pendidikan dibuka lagi secara bertahap dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.

Bagi Asita DIY, pembukaan kembali destinasi pariwisata ibarat angin segar. Persoalannya, wisatawan mancanegara membatalkan kunjungan hingga Desember. Praktis saat ini wisatawan domestik yang jadi andalan. “Sepuluh bulan mulai April kami harus bertapa,” kata Herry Setiawan.

Sebagian besar dari 180-an anggota Asita DIY benar-benar mengalami kesulitan selama masa pandemi. Ditambah lagi mereka harus menanggung beragam biaya, salah satunya sertifikasi.

“Perpanjangan biaya sertifikasi puluhan juta rupiah. Satu perusahaan bisa tiga jenis sertifikasi. Itu semua tetap jalan saat pandemi. Tolong dimudahkan. Aturan itu sangat menghambat kami,” ungkapnya. (sol)