Demi Kebersihan Negeri
Oleh: Sudjito Atmoredjo
Hemat saya, demi terwujudnya pemerintahaan yang bersih, ada dua hal mesti dilakukan secara simultan, yakni: (1) pengawasan (controlling), dan (2) penegakan hukum (law enforcement). Keduanya penting dan terkait, sebagai prasyarat terwujudnya good governance. Controlling, terfokus pada pencegahan kejahatan, sedangkan law enforcement, terfokus pada penindakan terhadap kejahatan yang telah terjadi.
PRESIDEN Prabowo Subianto berkehendak membangun pemerintahan yang bersih dari korupsi pada masa kepemimpinannya. Ia menekankan, tak ada negara yang bisa maju tanpa pemerintahan yang bersih. Maka, ia meminta pihak-pihak yang tak mau bekerja sama dengannya, mewujudkan pemerintahan bersih, untuk minggir (menyingkir). Pernyataan itu dikemukakan pada deklarasi Gerakan Solidaritas Nasional (GSN) di Jakarta, Sabtu, 2/11/2024. Pastilah, rakyat mengapresiasi dan mendukung kehendak itu. Seolah skuadron, rakyat menunggu komando, untuk bersegera, agar perang terhadap koruptor benar-benar dilakukan.
Hemat saya, demi terwujudnya pemerintahaan yang bersih, ada dua hal mesti dilakukan secara simultan, yakni: (1) pengawasan (controlling), dan (2) penegakan hukum (law enforcement). Keduanya penting dan terkait, sebagai prasyarat terwujudnya good governance. Controlling, terfokus pada pencegahan kejahatan, sedangkan law enforcement, terfokus pada penindakan terhadap kejahatan yang telah terjadi.
Pertama, perihal controlling. Dulu, pada zaman Orba, ada waskat (pengawasan melekat). Waskat adalah proses pengawasan, yang mencakup: pemantauan, pemeriksaan, dan evaluasi yang dilakukan oleh pimpinan organisasi kerja, terhadap bawahannya. Tujuannya, untuk memastikan bahwa bawahan melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien, sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan (Inpres No. 15 Tahun 1983).
Menpan (Sarwono Kusumaatmadja) sebagai penggagas waskat menyatakan bahwa pada sistem birokrasi yang sudah maju, waskat itu bersifat built-in. Karena sistem birokrasi di Indonesia masih bermasalah serius, maka untuk memperbaikinya, perhatian utama dimulai dari pembenahan kepemimpinannya (Tempo.co. 29/12/1990).
Pada ranah moralitas-religius, waskat, dimaknakan lebih luas dan lebih dalam, yakni sebagai pengawasan malaikat. Tidak terbantahkan bahwa hidup dan kehidupan manusia, setiap saat, diawasi oleh malaikat. "Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah....” (QS ar-Ra’d-ayat: 11).
Para malaikat (pengawas) itu utusan khusus Ilahi Rabbi. Mereka amanah. Bekerja profesional. Tak ada sedikit pun cacat, salah, ataupun kekurangan pada segala tugas-tugasnya. Semuanya, dijalankan paripurna. Sami'na wa aṭo'na (kami mendengar dan kami taat).
Pengawasan malaikat dilakukan dengan mencatat setiap niat, perkataan, dan perbuatan. Malaikat Raqib (Kiraman) mencatat amal/perbuatan baik. Malaikat Atid (Katibin) mencatat amal buruk/jahat. Hasil pengawasan, dilaporkan ke Allah Swt, untuk diberikan keadilan sejati, sebagai konsekuensi perbuatan masing-masing.
"Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan, kemudian menjelaskannya. Barangsiapa yang berniat melakukan kebaikan, lalu tidak mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Dan jika dia berniat mengerjakan kebaikan, lalu mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan, hingga tujuh ratus lipat, hingga perlipatan yang banyak. Jika dia berniat melakukan keburukan, lalu tidak jadi mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya, sebagai satu kebaikan yang sempurna, dan jika dia berniat melakukan keburukan lalu mengerjakannya, maka Allah menulis itu sebagai satu keburukan." (HR Bukhari).
Dapat diyakini, bersih-bersih pemerintahan akan berhasil, bila waskat - sebagai pengawasan oleh pimpinan lembaga, ataupun sebagai pengawasan malaikat - diaktualisasikan dan diefektifkan. Artinya, benih-benih kejahatan harus dibasmi sejak dini/awal. Pada diri seluruh anak-anak negeri, generasi penerus, perlu ditanamkan moralitas-religius (dibangun jiwanya), sehingga kokoh mentalitasnya, jujur, gigih, berwawasan kebangsaan, dan tidak goyah terhadap godaan nafsu duniawi. Terakhir, bila dijumpai penyelenggara pemerintahan terlibat korupsi, berjiwa parasit, dan hipokrit, maka segera ganti/copot/pecat.
Realitas empiris menunjukkan bahwa kotornya pemerintahan dan lambatnya pelayanan birokrasi, serta maraknya korupsi, erat kaitannya dengan inkompetensi penyelenggara negara dan birokrat bersangkutan. Adanya jabatan politis, yang diisi oleh para politikus, merupakan praktis politik yang menyimpang dari profesionalitas. Mereka gagap perihal good governance, dan hal-hal lain terkait. Dalam keterbatasannya, menjadikan kinerjanya amat rendah, hasilnya minimal. Celakanya, praktik kotor/kejahatan demikian dianggap lumrah (salah-pakrah). Persoalan ini perlu menjadi perhatian dan bagian penting dari bersih-bersih negeri ini.
Kedua, perihal law enforcement. Telah banyak pengalaman negeri lain perihal ketegasan dan keberhasilannya dalam penegakan hukum terhadap koruptor. Pengalaman China dan beberapa negara lain, seperti: Korea Utara, Irak, Laos, Thailand, dan Vitenam (Kompas.com, 19/12/2024), layak dijadikan kaca benggala.
Dikutip abcnews.go, pada September 2000, Cheng Kejie (Wakil Ketua Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional) dieksekusi mati, ditembak pada kepala bagian belakang. Ia menjadi tersangka korupsi karena menerima suap sebesar $5 juta (Rp 80 miliar). Dilansir BBC, Xu Maiyong (Wakil Walikota Hangzhou) dijatuhi hukuman mati pada Mei 2011 karena menerima suap hampir 200 juta yuan (Rp 20 miliar) dan menggelapkan dana. Diwartakan CCTV, Beijing mengeksekusi mati Li Jianping (Sekretaris Partai Komunis Cina) karena korupsi lebih dari 3 miliar yuan (Rp 6,6 triliun). Li dinyatakan bersalah telah menerima suap, menyalahgunakan uang masyarakat, dan berkolusi dengan sindikat kriminal. Dilansir dari Rappler, hukuman mati di China ditujukan untuk pelaku kejahatan di ranah ekonomi dan politik, seperti penyelundupan narkoba, perdagangan manusia, pengalihan obat terlarang, dan tindak korupsi.
Amat sangat diharapkan, Presiden Prabowo Subianto mengambil pelajaran dan mencontoh pengalaman beberapa negara lain itu. Bila ada kendala hukum, misal: buruknya perundang-undangan, dan rendahnya kualitas aparat penegak hukum, maka berlakukanlah konsep hukum progresif. Dimensi kemanusiaan, dan kebersihan negeri di tempat di atas segala hukum.
Selanjutnya, tanpa ragu berlakukanlah hukuman mati pada para kuruptor klas kakap, bos/backing judi online, dan bandar narkoba. Seluruh aset terkait kejahatan-kejahatan tersebut, disita untuk negara. Segera eksekusi. Wallahu’alam. ***
Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.
Guru Besar pada Sekolah Pascasarjana UGM