Bantuan Belum Jelas Kapan Diterima, Jalan-jalan di DIY Mulai Ramai
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Menjelang datangnya bulan suci Ramadan 1441 H, kondisi jalan-jalan pada beberapa wilayah di DIY mulai ramai kendaraan bermotor. Belum bisa dipastikan apakah ini terjadi karena warga mulai bosan tinggal di rumah ataukah para pemudik berdatangan.
“Kita belum bisa pastikan apakah ramai oleh pemudik atau sebetulnya warga kita mau tak mau harus keluar rumah mencari penghasilan karena tidak ada kepastian kapan bantuan sosial diterima,” ungkap Yuni Satia Rahayu, Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD DIY.
Kepada wartawan di ruang fraksi, Senin (20/4/2020), dia mengakui sampai hari ini tidak ada kejelasan mengenai bantuan yang akan diterima warga terdampak virus Corona atau Covid-19.
Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD DIY, RB Dwi Wahyu B, juga mengakui tidak mengetahui secara pasti apakah hal itu disebabkan warga mulai sumpeg di rumah ataukah karena pemudik berdatangan.
Setidaknya, dari data yang dia terima terdapat 100 ribu lebih pemudik tiba di DIY dalam kurun waktu beberapa waktu belakangan. Pemerintah desa harus siap menyambut mereka yang pulang ke kampung halamannya.
“Kami harapkan Pemda DIY terus menerus berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota untuk memastikan di tingkat desa apakah sudah melaksanakan SOP standar penerimaan pemudik. Kuncinya ada di desa,” ujarnya.
Yuni menambahkan, para pemudik dari Jakarta, Jawa Barat, Banten dan Jawa Timur yang pulang ke Yogyakarta harus melakukan isolasi mandiri karena bagaimana pun mereka berasal dari wilayah terdampak Covid-19.
“Yang jadi problem, kita siap tidak menerima pemudik? Apa yang bisa dilakukan pemerintah desa dan pemerintah kabupaten/kota? Apakah sudah ada sosialiasi agar mereka karantina mandiri 14 hari. Kemudian, apakah ada standar khusus menyambut pemudik, misalnya tes skrining suhu tubuh, gunakan masker atau tidak,” ucap dia.
Yuni mengakui, selama ini tradisi mudik memberikan kontribusi pendapatan bagi kabupaten kota maupun desa. Sumbangan dari pemudik jumlahnya luar biasa hingga mampu menggerakkan roda perekonomian. “Tetapi karena kondisi sekarang seperti ini maka kita harus ikhlaskan tidak bisa mendapatkan hasil seperti tahun lalu,” tambahnya.
Hampir setiap tahun pemerintah desa diuntungkan dengan kehadiran pemudik, sebagai gantinya tahun ini pemerintah desa wajib hukumnya melaksanakan realokasi APBDes untuk penangangan Covid-19 termasuk mengurusi para pemudik yang kehilangan pekerjaan karena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Apalagi sudah ada surat dari Menteri Keuangan. Salah solusinya yaitu mereka diberikan bantuan lewat program padat karya agar kembali punya penghasilan.
“Kami imbau seluruh desa di DIY merealokasi APBDes. Sudah ada surat dari Menkeu dan itu wajib, untuk membantu masyarakat agar mendapatkan penghasilan,” kata dia.
Lagi-lagi masalahnya, lanjut Dwi Wahyu, seseorang yang terkena PHK logikanya menerima pesangon sejumlah beberapa kali gaji.
Misalnya saja satu orang pemudik korban PHK pulang kampung bawa uang Rp 10 juta, apakah juga perlu dibantu. “Inilah peran Pak Dukuh sebagai filter. Perlu koordinasi dengan pemerintah kabupaten,” ujar Wakil Ketua Komisi B DPRD DIY ini.
Karena itu, masyarakat diminta melapor secara jujur. “Mudik oke tetapi ada kesadaran dari warga masyarakat bersikap jujur membantu pemerintah menanggulangi Covid-19. Pemerintah kerja keras seperti apapun tanpa dukungan dari masyarakat maka penanganan Covid-19 ke depan akan begini. Kita dorong lakukan pendataan pada mereka yang baru datang,” sambung Yuni.
Kartu Prakerja
Pada bagian lain mengenai Kartu Prakerja, Dwi menyampaikan Provinsi DIY memperoleh kuota 86 ribu. Pertanyaannya, jika pendaftar melebihi kuota lantas siapa yang bertanggung jawab.
Setahu dia, penerima bantuan Kartu Prakerja ber-KTP Yogyakarta. Muncul lagi pertanyaan jika mereka tinggal atau domisili di luar DIY, bagaimana prosesnya?
“Yang punya akses Kartu Prakerja hanya mereka yang memiliki peluang, mengetahui teknologi informasi serta jaringan. Bagaimana mereka yang nggak bisa mengoptimalkan jaringan di tingkat desa. Pak Dukuh harus mendata warganya yang kena PHK atau dirumahkan,” kata dia.
Solusinya, kata Yuni, gunakan internet di balai desa. Selain itu, Pemda DIY juga perlu membuka ruang tersendiri, melakukan pendataan atau memberi fasilitasi pelatihan. Seandainya memungkinkan diberi modal agar bisa bekerja mandiri. “Idealnya seperti ini, Pemda DIY membuat Kartu Prakerja sendiri,” kata dia.
Baik Yuni maupun Dwi kurang sepakat dengan model Kartu Prakerja saat ini. Rasanya kurang cocok. Dari dana yang diterima Rp 3,5 juta per bulan, dipotong biaya pelatihan online Rp 1 juta. Rasanya tidak rasional. Yang mengherankan model pelatihan seperti belajar dari youtube. (sol)