Lomba Penulisan Artikel BPIP Menuai Pro dan Kontra

Lomba Penulisan Artikel BPIP Menuai Pro dan Kontra

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Pro kontra lomba penulisan artikel yang digagas oleh Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) terus bermunculan. Lomba yang dianggap kontroversial tersebut sempat mendapat tentangan keras dari Majelis Ulama Indonesia (MU) dan juga banyak elemen atau organisasi masyarakat.

Namun ada pula yang mendukung kegiatan lomba yang awalnya ditujukan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) RI ke-76 dan Hari Santri pada 22 Oktober mendatang. Contohnya saja, Pusat Studi Pancasila dan Bela Negara (PSPBN) yang berada di bawah naungan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dr Moh Tantowi MAg selaku Kepala PSPBN menganggap upaya membangun jiwa nasionalisme dan kecintaan pada Tanah Air perlu terus ditumbuhkan.

“Hal itu yang tidak bisa dianggap sebagai proses yang pasti akan terjadi atau taken for granted. Bagian dari ikhtiar menumbuhkan dan mengembangkan jiwa nasionalisme ini adalah dengan menggali dan menguatkan basis-basis kultural bangsa, di antaranya adalah melalui nilai-nilai keagamaan,” katanya, Sabtu (15/8/2021).

PSPBN menyatakan lomba penulisan artikel dapat mendorong para peserta untuk melacak, menginvestigasi dan menginternalisasi nilai-nilai kebangsaan yang ada pada bendera dan lagu kebangsaan serta menghubungkannya dengan nilai-nilai keagamaan. Proses olah pikir yang terlibat di dalam penulisan artikel ini akan mendorong para pesertanya pada penemuan simbol bendera dan lagu kebangsaan yang sarat makna dan nilai.

“Penemuan baru simbol-simbol nasionalisme yang lebih sarat makna dan nilai ini akan menciptakan kesadaran kewarganegaraan yang baru. Sehingga dengan demikian, semangat jiwa nasionalisme tidak lagi dipaksakan oleh negara, melainkan tumbuh dari kesadaran berpikir warga negara yang menggunakan akal sehat dan pemikiran kritis,” tutur Tantowi dalam rilis resmi yang dikirim PSPBN.

Tantowi menambahkan, munculnya kesadaran kewarganegaraan yang baru dan penelusuran kajian fikih kebangsaan yang dinamis secara temporal dan kontekstual diharapkan akan menjadi basis kultural yang kuat, tidak hanya untuk mewujudkan hubbul wathan (cinta bangsa/tanah air) tetapi juga hifdzul buldan (menjaga bangsa/tanah air).

“Sikap sinisme sebagian kalangan terhadap inisiasi BPIP untuk menyelenggarakan kompetisi penulisan artikel tingkat nasional, yang mengambil tema tentang menghormati bendera perspektif hukum Islam dan menyanyikan lagu kebangsaan perspektif hukum Islam, justru menguatkan dan semakin relevan tema ini untuk dikaji secara ilmiah,” tandasnya.

Adu domba dan friksi

Ketua Asosiasi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir se-Indonesia, Dr Phil Sahiron Syamsuddin MA, juga mendukung lomba yang digelar oleh BPIP. Lomba penulisan artikel tentang “Hormat Bendera Menurut Hukum Islam” dan “Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam” yang diadakan oleh BPIP merupakan kegiatan positif.

“Dengan lomba penulisan itu, BPIP berusaha memberikan wadah kepada umat Islam untuk mengekspresikan pandangan-pandangannya dengan tema-tema yang ada. Memang perbedaan pandangan bisa saja terjadi dan wajar saja. Singkat kata, dengan lomba ini BPIP sedang membina masyarakat untuk menuangkan pikirannya dalam bentuk tulisan,” katanya, Minggu (15/8/2021) pagi.

Sedangkan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, mengkritik keras lomba penulisan itu. Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu juga mendorong pembubaran BPIP jika lembaga tersebut dinilai tak bermanfaat.

“Ini (lomba menulis) bukan saja tendensius, tapi jelas-jelas useless, tidak ada manfaatnya sama sekali. Tidak ada konsep akademis ideologisnya,” kata Busyro, Jumat (13/8/2021) kemarin.

Busyro menegaskan, tema yang diusung BPIP justru mengadu domba sekaligus sebagai bentuk penghinaan terhadap komunitas santri. Ia mengatakan momentum Hari Santri bukan hanya milik ormas Islam tertentu, tetapi harus menjadi milik semua umat Islam.

“Apakah selama ini negara itu ada problem dengan penghormatan bendera Merah Putih? Atau problem lagu kebangsaan? Faktanya tidak ada, kan? Kalau tidak ada, mengapa BPIP mencari-cari penyakit ini namanya,” kata Busyro. (*)