Program MBG, Siswa SMKN 4 Yogyakarta Temukan Ulat dan Makanan Basi
SMKN 4 Yogyakarta menyatakan tidak ingin melanjutkan program MBG pada tahun ajaran mendatang. Mereka berharap anggaran program yang mencapai Rp12 juta per hari untuk 1.200 siswa dapat dialihkan untuk peningkatan fasilitas pendidikan
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA--Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di SMKN 4 Yogyakarta menuai keluhan serius setelah ditemukan ulat dalam makanan, paket makanan basi, dan buah-buahan busuk yang disajikan kepada 1.200 siswa. Pihak sekolah mengklaim telah melaporkan setidaknya 6 hingga 7 kali kejadian serupa kepada penyedia layanan.
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMKN 4 Yogyakarta, Widiatmoko Herbimo, menunjukkan bukti foto temuan ulat dalam makanan yang dibagikan kepada siswa beberapa hari lalu.
“Itu baru saja, dua atau tiga hari lalu. Saya punya fotonya. Cuma satu memang, tapi ini bukan pertama kalinya. Mungkin sudah 6 atau 7 kali kejadian seperti itu,” ungkap Widiatmoko pada Senin (5/5/2025).
Menurut Widiatmoko, pihak penyedia makanan bahkan memberi tanggapan yang mengejutkan terkait temuan ulat tersebut.
“Katanya sih dari penyedia, itu justru bagus karena tidak pakai pestisida. Tapi kan tetap saja, masak ada ulatnya terus dimakan?,” ujarnya.
Selain temuan ulat, sekolah juga mendapati makanan dalam kondisi basi dan buah-buahan busuk yang tidak layak konsumsi. Kondisi ini menyebabkan banyak siswa trauma dan menolak mengonsumsi makanan dari program MBG.
“Ada yang pernah makan, lalu nemu ulat. Sejak itu nggak mau makan MBG lagi, sampai sekarang. Kalau dikasih makan di rumah masih mau, tapi kalau tahu itu dari MBG, langsung ditolak,” tambahnya.
Meski pihak sekolah telah melaporkan berbagai keluhan tersebut melalui grup komunikasi khusus yang dibentuk bersama penyedia, masalah serupa terus berulang. Widiatmoko menduga buruknya pengawasan kualitas terjadi karena volume makanan yang harus disediakan sangat besar.
“Kami sudah laporkan ke penyedia. Bahkan kami punya grup khusus untuk menampung keluhan dan masukan. Tapi ya tetap saja kejadian serupa berulang. Jumlah siswanya banyak, jadi mungkin kontrolnya tidak maksimal,” kata Widiatmoko.
Selain persoalan kualitas makanan, program MBG yang bertujuan meningkatkan asupan gizi siswa ini juga dianggap membebani operasional sekolah. Staf sekolah terpaksa dialihkan dari tugas utama mereka untuk mengelola distribusi makanan, dengan waktu jeda makan mencapai empat hingga enam jam karena harus menunggu makanan datang, dibagikan, dan dicek ulang.
“Misal, karyawan yang harusnya menyusun laporan keuangan jadi harus ngurus piring. Misalnya kami ambil 30 porsi per kelas, kalau jam 12 belum diambil, kami harus keliling cari. Kadang ketinggalan di kelas A atau B. Itu sering sekali terjadi,” jelas Widiatmoko.
Akibat berbagai permasalahan ini, pihak SMKN 4 Yogyakarta menyatakan tidak ingin melanjutkan program MBG pada tahun ajaran mendatang. Mereka berharap anggaran program yang mencapai Rp12 juta per hari untuk 1.200 siswa dapat dialihkan untuk peningkatan fasilitas pendidikan.
“Harapannya setelah tahun ajaran baru, kami tidak menerima lagi MBG. Karena bagi kami ini sudah menjadi beban tambahan, bukan bantuan,” tutup Widiatmoko.
Di sisi lainnya, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) DIY, Suhirman, mengklaim belum menerima laporan resmi mengenai temuan ulat dan makanan basi di SMKN 4 Yogyakarta.
“Kalau soal itu, saya akan klarifikasi. Karena laporan resmi belum masuk ke kami,” kata Suhirman saat dikonfirmasi.
Suhirman menyatakan pihaknya siap berkoordinasi dengan sekolah untuk mengatasi permasalahan tersebut.
“Kita selesaikan bersama. Jangan sampai sekolah mengambil keputusan sendiri tanpa komunikasi,” tandasnya.
Program MBG saat ini dilaksanakan di enam sekolah jenjang SMA/SMK di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Gunungkidul sebagai pilot project, dengan keputusan ekspansi tetap berada di pemerintah pusat melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). (*)