Konser Musik Kampanye Pilkada Tak Diizinkan

Konser Musik Kampanye Pilkada Tak Diizinkan

KORANBERNAS.ID, JOGJA-- Polemik tentang penyelenggaraan kampanye terbuka dalam bentuk konser musik atau panggung hiburan yang menghangat disikapi dengan arif oleh pemangku kepentingan pemilu di Yogyakarta. Penyelenggara pemilu seperti Bawaslu dan KPU menyatakan akan mengawasi secara ketat jenis-jenis kampanye yang dilakukan di masa pandemi saat ini.

“Sebenarnya kalau dari kami tegas akan melarang konser atau pasar murah dan lainnya. Tapi sekarang ini kami masih menunggu regulasi dari kampanye, karena ini memang ada kondisi khusus yang kita hadapi,” kata Komisioner Bawaslu DIY Divisi Penindakan Pelanggaran, Sri Rahayu Werdiningsih.

Wanita yang akrab disapa Cici itu saat diwawancarai koranbernas.id, Kamis (17/09/2020) siang, menyebutkan, KPU dan Bawaslu sejatinya tak bisa melarang kampanye terbuka seperti konser musik, pasar murah atau bazaar, panggung kesenian dan juga rapat akbar. Mengingat kegiatan kampanye telah diatur oleh UU.

“Ini memang dilematis. Kalau KPU tentu tidak bisa membuat aturan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan UU, bahwa dalam UU disebutkan metode kampanye ada pertemuan tatap muka, pertemuan terbatas dan pemasangan APK (Alat Peraga Kampanye),” jelasnya.

Namun, pihaknya mendorong agar aparat kepolisian berani menindak tegas, pelanggaran protokol kesehatan di masa kampanye. Hal ini karena penyelenggara pemilu dibatasi dengan UU Pemilu yang memperbolehkan pertemuan tatap muka atau kegiatan lain seperti konser musik, panggung kesenian, pasar murah, senam massal dan lainnya.

“Artinya kalau memang ada paslon yang ditetapkan, akan melakukan kampanye yang berpotensi mendatangkan massa besar, polisi sebaiknya memainkan perannya untuk tidak mengizinkan,” tutur Cici.

Cici lantas merujuk pada Inpres Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19. Dalam aturan tersebut, alumnus Fakultas Hukum UII itu menegaskan, polisi berhak membubarkan kerumunan massa yang tidak menaati protokol kesehatan.

“Presiden mengamanatkan, salah satunya kepada Polri, untuk melakukan sosialisasi pencegahan, dan kalau itu tidak mempan atau tetap dilanggar, kepolisian mempunyai kewenangan melakukan penindakan,” terangnya.

  Sri Rahayu Werdiningsih alias Cici menyatakan, salah satu peran utama Polri dalam masa kampanye Pilkada adalah soal pemberian izin. Sebab itu, dirinya meminta agar polisi tidak perlu mengeluarkan izin kampanye yang berpotensi menimbulkan penyebaran Covid-19. 

“Makanya kuncinya ada di kepolisian, meskipun metode kampanye itu ada, tapi tetap pengendalian untuk diizinkan atau tidak diizinkan (kampanye) ada di kepolisian. Jangankan mengumpulkan massa yang banyak di saat tidak pandemi, apalagi di masa pandemi, tetap harus ada izin. Ini peran yang besar dari kepolisian,” tandasnya.

Sementara itu, Kabid Humas Polda DIY Kombes Polisi Yuliyanta menegaskan, pihaknya akan membatasi dengan ketat, kampanye terbuka. Mulai dari jumlah massa yang terlibat hingga penegakan protokol kesehatan.

“Setiap paslon hanya diberikan satu kali kesempatan kampanye tatap muka. Kalau itu secara terbuka maksimal hanya boleh diikuti 100 orang saja, dan kalau di dalam ruangan maksimal 50 orang,” ungkapnya.

Yuliyanta menegaskan, aparat kepolisian tak bisa bekerja sendirian dalam penegakkan protokol kesehatan di masa pandemi. Sebab itu, sinergi harus dilakukan bersama seluruh pemangku kepentingan pemilu, masing-masing paslon dan masyarakat.

“Tentu kita akan bekerja bersama-sama dengan KPU dan Bawaslu untuk bersama-sama menyosialisasikan dan menggaungkan penggunaan protokol kesehatan,” terangnya.

Dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2020 pasal 63 ayat 1 disebutkan beberapa kegiatan yang tidak melanggar larangan kampanye. Di antaranya rapat umum, kegiatan kebudayaan hingga konser musik dan juga bazaar. Namun hal itu menuai polemik di masyarakat ketika kurva pertumbuhan Covid-19 di Tanah Air semakin meninggi. (*)