Resesi Hukum: Mengapa Terjadi, Bagaimana Menyikapinya?

Resesi Hukum: Mengapa Terjadi, Bagaimana Menyikapinya?

SABTU pagi (19/9/2020) Buya Syafii Maarif berkirim pertanyaan melalui WhatsApp: “Inggris sudah resesi, Indonesia bagaimana Bapak-bapak?” Saya tertegun membacanya. Ini bukan sekadar pertanyaan, melainkan peringatan. Terkandung pesan moral, agar semua komponen bangsa, lebih-lebih pemerintah, segera merespons dengan cepat dan tepat.

Hari-hari ini, media cetak dihiasi berbagai informasi (sekaligus opini) tentang resesi ekonomi. “Indonesia di Ambang Resesi, Bagaimana Kita Menyikapinya?”, itulah headline Kompas (19/9/2020). Mudrajad Kuncoro, dalam Opini berjudul “Di Tepi Jurang Resesi” (Bisnis Indonesia, 18/9/2020), membahas persoalan ini. Antara lain disajikan data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II/2020 tumbuh negatif 5,32 % secara tahunan (yoy) atau minus 4,19 % secara kuartalan (q to q). Pada triwulan I/2020 mulai merosot menjadi negatif 2,41 % (q to q), yang kian terperosok dibanding triwulan IV/2019 yang negatif 1,74 %. Kondisi ini kian terperosok dalam jurang resesi pada triwulan II/2020 dengan pertumbuhan 4,19 %.

Apa sih resesi ekonomi? Mengapa kita risau? Apa implikasinya? Secara sederhana, resesi ekonomi, diartikan sebagai kelesuan di bidang perekonomian. Tercermin pada indikator-indikator: berupa pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut atau lebih. Resesi ekonomi telah terjadi di beberapa negara. Inggris sudah resesi. Umumnya, pandemi Covid-19 dituding sebagai faktor penyebab utamanya. Banyak ahli menyatakan, kini Indonesia berada di ambang resesi ekonomi juga. Presiden Joko Widodo mengatakan, jika pada kuartal III/2020 pertumbuhan ekonomi kembali minus, maka kita akan mengalami resesi ekonomi (Kompas, 19/9/2020).

Fahmy Radhi – ekonom UGM – menjelaskan bahwa resesi ekonomi akan berpengaruh pada pasokan atau supply barang yang turun secara drastis, namun permintaan tetap. Akibatnya, harga-harga menjadi naik, memicu inflasi. Inflasi akan membuat daya beli masyarakat semakin menurun. Ujung-ujungnya, pertumbuhan ekonomi terpuruk. Sayang untuk mengatasinya, ternyata bantuan-bantuan pemerintah tak cukup kuat menahan laju resesi ekonomi itu. Lamanya pandemi Covid-19 berbanding lurus dengan periode resesi ekonomi (Kompas, 19/9/2020).

Hemat saya, bila pengertian resesi ekonomi di atas dikaitkan dengan data BPS, kiranya cukup untuk menyatakan bahwa tanda-tanda terjadinya resesi ekonomi Indonesia, sudah mulai tampak. Resesi ekonomi hanyalah bagian dari kegoncangan (anomaly) kehidupan besama dalam skala negara ataupun global. Dalam perspektif hukum sebagai jagat ketertiban, resesi ekonomi merupakan bukti rentannya tatanan ekonomi berkarakter kapitalistik.

Mesti dipahami, bahwa kehidupan ini terwujud sebagai jaringan berbagai variable yang kompleks. Di dalamnya terdapat komunitas-komunitas majemuk. Kemajemukannya, menjadi sebab ataupun akibat dari segala bentuk situasi yang hadir kemudian. Kehidupan dikatakan sebagai maju (progresif), bila indikator-indikator berupa: ketertiban, keteraturan, keadilan, dan sejenisnya semakin marak dan kualitasnya meningkat. Sebaliknya, kehidupan dikatakan mundur (anomaly, chaos, disorder), kalau di situ banyak: kejahatan, korupsi, kekacauan, kekerasan, manipulasi, dan sejenisnya (Satjipto Rahardjo, 2006). Resesi ekonomi, merupakaan bukti kemunduran kehidupan itu.

Resesi ekonomi, tidak terjadi tiba-tiba. Bisa dan pernah terjadi tanpa ada pandemi Covid-19. Resesi ekonomi bukanlah realitas tunggal, parsial, terlepas dari resesi hukum, politik, budaya, dan lain-lainnya. Seluruhnya, terkait satu dengan lainnya, berkelindan, dan tampil sebagai realitas utuh, menyeluruh dan kompleks. Itulah resesi kehidupan.

Dalam perspektif hukum sebagai tatanan (order), dapat diyakini bahwa resesi kehidupan, apapun bentuk dan namanya, pasti terkait dengan anomaly pemahaman, penerimaan dan ketaatan pada trancendental order, social order, maupun political order. Pada jenis dan tingkat manapun, hukum senantiasa berisi dan berurusan dengan ketertiban, keteraturan, dan keadilan. Hukum ada dan diadakan sekaligus diposisikan secara normatif sebagai penjaga, pengatur, dan produsen ketertiban, keteraturan, dan keadilan itu. Perintah, larangan, hak, kewajiban, ganjaran (reward) dan sanksi hukum (punishment), merupakan unsur-unsur hukum yang terjalin erat sebagai sebuah institusi normatif, demi tatanan yang utuh itu.

Realitas sosiologis-empiris mempertanyakan, benarkah hukum di Indonesia senantiasa tampil normatif dan fungsional sebagaimana dikonsepkan? Mengapa aspirasi publik (rakyat) sering diabaikan, dilecehkan, bahkan dimusuhi pihak tertetu, dan hukum dijadikan sebagai alat kekuasaan? Sejak pertanyaan-pertanyaan tersebut mengemuka tanpa ada jawaban memuaskan, sebenarnya, sejak saat itu resesi hukum sudah mulai muncul.

Telah menjadi realitas empiris (setidaknya sejak era reformasi), bahwa peraturan-perundangan selalu dikonsepkan sebagai produk politik. Unsur kepentingan dan dominasi politikus amat tinggi. Padahal, secara keilmuan (academic), hukum sebagai produk politik itu hanyalah bagian kecil dari keseluruhan hukum sebagai tatanan (order), dan berada di salah-satu sudut kehidupan bernegara ini. Di sudut-sudut lain, di luar itu, masih ada, order-order lain. Transcendental order, social order, maupun political order lainnya, secara riil eksis, hidup, dan fungsional. Di sana, ada hukum adat, hukum agama, kearifan lokal, qanun, dan sebagainya. Di Minangkabau, misalnya, hukum adat hanya dikatakan benar bila basandi syara’, dan syara’ basandi kitabullah (Al-Qur’an). Di Bali, ada kebersatuan antara hukum adat dan hukum agama Hindu. Orang Bali lebih nyaman dan taat pada hukum adatnya daripada hukum negara. Di Lombok, Dayak, Papua dan beberapa wilayah lainnya, juga serupa dengan itu. Jadi, hukum di negeri ini amat majemuk, beragam, beraneka, plural. Dikenal pluralitas hukum. Bukan hanya hukum sebagai produk politik saja. Peminggiran order-order lain oleh penguasa dan hanya memberlakukan hukum sebagai produk politik, merupakan bentuk penindasan, kesewenang-wenangan, dan pengingkaran terhadap kebhinekaan. Sikap-sikap antagonis demikian itu menjadi sebab terjadinya resesi hukum.

Resesi hukum juga dapat tampil dalam bentuk dan momentum lain. Ketika basic, sumber, roh, atau fondasi hukum berupa nilai-nilai moral sosial, moral religius, moral kebangsaan disingkirkan. Pancasila sebagai sistem nilai, adalah sumber dari segala sumber hukum Indonesia. Secara filosofis, tidaklah sah, bila hukum tidak mencerminkan pengkonkritan nilai-nilai Pancasila. Hasil pengkonkritannya dituangkan sebagai azas hukum maupun norma hukum. Hukum sebagai produk politik, terindikasi sebagai produk hukum yang hampa dari nilai-nilai Pancasila. Resesi hukum telah terjadi sejak mulainya pelecehan terhadap Pancasila.

Aspirasi publik (rakyat) tidak didengar oleh pembuat, pelaksana, dan penegak hukum. Ambil contoh, proses pembuatan Omnibus Law dan undang-undang lain, dilakukan diam-diam, tanpa pelibatan publik. Padahal substansi-substansinya merugikan publik, di situ, resesi hukum mewujud dalam bentuk pelecehan aspirasi rakyat.

Kriminalisasi dilakukan terhadap tokoh-tokoh bangsa, aktivis, ulama, dan siapapun yang dipandang berseberangan dengan penguasa. Mereka dilaporkan ke kepolisian. Secepatnya diproses hukum. Ujungnya dipersalahkan oleh hakim. Dijatuhi pidana. Dipenjara. Ketidakadilan akibat kriminalisasi ini sudah sampai di tingkat akut. Inilah resesi hukum di ranah penegakan hukum.

Sebagai negara hukum, mestinya hukum memegang hegemoni dalam segala urusan. Dalam bahasa sosiologi, dikatakan hukum mestinya menjadi panglima. Urusan apapun - tak terkecuali urusan politik - mestinya ditempatkan dalam bingkai hukum sebagai panglima itu. Realitas empiris menunjukkan bahwa idealitas seperti itu merupakan mitos belaka. Tak pernah eksis. Apalagi fungsional. Kekuatan rakyat, beserta para akademisi, filsuf, agamawan, rohaniwan, aktivis, ternyata tidak mampu untuk melegitimasikan atau mendukung (corrborate) pikiran-pikiran hegemonial tersebut. Mereka takluk ketika dihadapkan pada ordinat hukum negara, yakni kekuatan politik.

Politisi, mestinya menjadi negarawan ketika sudah menduduki jabatan kenegaraan. Idealitas demikian juga mitos belaka, karena dasar pijakannya lemah, orientasinya sesat. Politisi, tampak sedari awal sudah ancang-ancang ingin hidup kaya, dihiasi popularitas. Berbagai cara ditempuhnya. Kolaborasi dengan korporasi (sebagai cukong), menjadi model kehidupan politik praktis yang dipilihnya. Tak jarang, korporasi mengkooptasi politisi. Dalam suasana demikian, rakyat dan sumberdaya alam, dieksploitasi demi keuntungan politik dan finansial. Itulah oligarkhi kekuasaan. Resesi hukum terjadi ketika niat, sikap, perilaku dan orientasi kedua elite (politisi dan korporasi) hanya fokus kepada kepentingan-kepentingannya sendiri, serta-merta tega berbuat sewenang-wenang terhadap rakyat dan tanah airnya.

Beberapa realitas yuridis-empiris serba disorder di atas, kiranya cukup menjadi bukti dan gambaran bahwa resesi hukum di Indonesia sudah dan terus terjadi. Nyata adanya, dan berlangsung sudah lama. Lantas, bagaimana kita mesti menyikapinya?

Sikap bijak di bidang ekonomi, telah disarankan oleh Mudradjad Kuncoro. Perlu strategi ‘big push’ (merujuk pada teorinya Rosenstein-Rodan) dan integrasi kebijakan ekonomi dengan kesehatan dalam satu paket. Dibutuhkan meta policy mix, antara kebijakan moneter, fiskal dengan kebijakan sektoral dan daerah, suatu kebijakan berkarakter pro-health, pro-jobs, pro growth, dan pro-poor.

Hemat saya, saran bagus di atas masih perlu ditambah dengan memasukkan pentingnya pendekatan holistik (holistic approach) dalam hukum. Segala permasalahan terkait resesi, baik sebab hingga implikasinya, mesti didekati dan dikaji secara utuh dan menyeluruh. Dianalisis, apa yang terjadi pada transcendental order, social order, maupun political order. Masalah keimanan, masalah sosial-kebangsaan, masalah hukum, masalah politik, dan lain-lainnya perlu ditengok kembali. Sangat mungkin akar masalah ada di situ.

Bila diyakini masalah resesi nasional disebabkan pandemi Covid-19, kiranya tidak bijak bila persoalan ekonomi dihadap-hadapkan dengan persoalan kesehatan. Tidak bijak pula bila cara penyelesaiannya hanya parsial, ataupun pilihan, mana yang diprioritaskan, apakah perekonomian ataukah kesehatan.

Sebab-sebab resesi nasional, pastilah terkait dengan banyak variabel, seperti: runtuhnya nasionalisme, meningkatnya mentalitas korup, langkanya sikap populis, kehidupan hedonis-sekuler. Variabel-variabel itu telah ada sebelum dan selama pandemi Covid-19. Keseluruhan variabel tersebut, perlu dikaji secara utuh dan menyeluruh. Dengan kata lain, resesi ekonomi perlu dikaji dalam satu paket dengan resesi hukum dan resesi-resesi lainnya. Itulah sikap bijak pembenahan terhadap resesi nasional.

Pembenahan secara promotif, harus dilakukan dengan tekad kembali ke Pancasila sebagai sumber hukum. Pembenahan secara preventif, perlu dilakukan dengan pengendalian, pengereman, dan minimalisasi laju saling ketidakpercayaan (distrust) antar-sesama komponen bangsa, ataupun antara pemerintah terhadap rakyat, serta sebaliknya. Pembenahan secara kuratif, dilakukan melalui penegakan hukum secara tegas, tanpa diskriminasi.

Tak kalah penting, segala potensi bangsa - baik pemikiran ataupun sumberdaya lainnya - disatu-padukan menjadi kekuatan bangsa, dan digunakan untuk menambah imunitas, serta daya juang memerangi musuh-musuh bangsa. Siapa musuh bangsa itu? Siapapun yang kiblat kepeduliannya kepada bangsa asing, dan tega terhadap nasib bangsanya sendiri yang semakin menderita.

Terakhir, insya Allah, segala niat dan usaha baik, yang dilakukan secara rasional, berkesinambungan, dalam kebersamaan dan berwawasan kebangsaan, akan dirahmatiNya. Stop resesi nasional. Wallahu’alam. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru besar ilmu hukum UGM