Menakar Penyebab Rendahnya Serapan Anggaran Pemerintah

Menakar Penyebab Rendahnya Serapan Anggaran Pemerintah

Kinerja Pemerintah

DUNIA sedang mengalami situasi pelik di mana terjadi perlambatan laju perekonomian akibat pandemi virus corona atau Covid-19. Tidak dapat dipungkiri bahwa pandemi virus corona juga berdampak pada berbagai sektor, salah satunya perekonomian. Peran pemerintah menjadi sangat esensial untuk memberikan lecutan yang kuat dan sigap bagi roda perekonomian negara. Pemerintah telah melakukan tindakan strategis melalui berbagai instrumen kebijakan stimulus fiskal. Dalam hal ini Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai instrumen kebijakan stimulus fiskal. APBN sebagai instrumen kebijakan stimulus fiskal merupakan wadah intervensi pemerintah secara langsung maupun tidak langsung, untuk mengantisipasi dampak negatif virus corona di bidang ekonomi. Oleh karena itu, APBN memiliki fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi untuk dapat menyelamatkan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Fungsi-fungsi APBN terkait penetapan kebijakan fiskal sangat diharapkan, khususnya kebijakan belanja pemerintah agar dapat bekerja secara tepat, bermanfaat, efisien, efektif, dan berkelanjutan bagi kemaslahatan masyarakat terkait penanganan pandemi virus corona.

Beberapa waktu yang lalu, Presiden Joko Widodo menunjukkan ekspresi geram dan murka kepada para menteri kabinet melalui kanal resmi Sekretariat Kabinet. Ekspresi tersebut tidak main-main karena Presiden Joko Widodo melontarkan ancaman akan me-reshuffle Kabinet Indonesia Maju. Ekspresi yang ditunjukkan oleh Presiden Joko Widodo dengan nada tinggi dan gamblang, seolah-olah menggiring opini di benak masyarakat, mengenai kinerja para menteri dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang belum optimal. Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa para menteri dalam bekerja belumlah berkinerja. Menurutnya, masih saja ada segelintir menteri yang biasa-biasa saja dalam bekerja di tengah situasi dan kondisi saat ini. Sudah sepantasnya dalam kondisi ekstraordinari saat ini pemerintah harus berlari kencang bukan berjalan santai. Kondisi genting saat ini memaksa pemerintah untuk menyiapkan bekal dengan menetapkan Perppu No. 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU No. 2/2020. Berbekal regulasi tersebut, pemerintah memermak postur dan alokasi APBN 2020 melalui Perpres No. 54/2020 yang telah diubah menjadi Perpres No. 72/2020 secara istimewa. Ketentuan istimewa yang merujuk pada Perpres No. 54/2020 , yaitu meroketnya defisit anggaran dari Rp 307 triliun (1,76 % dari PDB) menjadi Rp 852 triliun (5,07% dari PDB), kemudian defisit yang baru menjadi Rp 1.039,2 triliun (6,34% dari PDB), dengan mekanisme penutupan defisit anggaran akibat covid dengan memanfaatkan sisa anggaran lebih (SAL) dan pembiayaan utang sebesar Rp 1.645,3 triliun. Tren rasio utang pemerintah terhadap PDB pada Mei 2020 sebesar 32,09 % dari PDB. Dalam hal ini rasio utang pemerintah masih berada dalam posisi aman dan batas wajar. Intinya proses penganggaran perlu adanya kesinambungan dalam hal pengelolaan keuangan negara yang diatur UU No. 17 / 2003 tentang Keuangan Negara melalui rasio utang maksimal 60% dari PDB.

Kendatipun pemerintah telah menetapkan regulasi tentang keuangan negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang disusun sesuai kebutuhan penyelenggara pemerintahan negara dalam penanganan pandemi Covid-19, namun pelaksanaan tata kelola tingkat penyerapan anggaran masih rendah pada belanja pemerintah. Hal ini menjadi persoalan yang genting, karena ke depan akan berdampak pada pemulihan ekonomi nasional.

Faktor Penyebab Rendahnya Serapan Anggaran

Beberapa kementerian/lembaga teknis belum berkinerja secara optimal dalam hal penyerapan anggaran penanganan Covid-19. Hal ini merujuk pada data alokasi anggaran yang baru terealisasi Rp 141 triliun dari total anggaran berjumlah Rp 695 triliun. Kondisi ini mengindikasikan bahwa serapan anggaran berkisar 20% dari anggaran penanganan Covid-19. Tingkat realisasi penyerapan anggaran yang rendah menimbulkan lambatnya penerimaan manfaat kepada masyarakat. Permasalahan ini dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, sehingga akan berdampak pada situasi dan kondisi politik yang dapat mempengaruhi instabilitas sosial. Selain itu, konsekuensi dari buruknya serapan anggaran ialah hilangnya manfaat belanja. Lantaran dana yang telah dianggarkan tidak semuanya dapat dialokasikan atau pun dimanfaatkan secara tepat guna, sehingga timbul dana yang menganggur (idle money). Jika pengalokasian anggaran efisien, meskipun terdapat keterbatasan sumber dana, pemerintah masih dapat mengoptimalkan pendanaan ke kegiatan strategis lainnya. Penyerapan anggaran belanja yang rendah dapat berdampak pada pemulihan ekonomi. Hal ini dikarenakan pemerintah memiliki peran sentral dalam memulihkan roda perekonomian melalui belanja pemerintah, sehingga ke depan dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

Wacana reshuffle kabinet Indonesia Maju pun menjadi jalan Presiden Joko Widodo yang dirasa sebagai jalan terbaik karena merasa kecewa dengan kinerja para menteri yang buruk dalam merealisasikan anggaran penanganan Covid-19. Dalam perspektif teori institusional menunjukkan, bahwa tekanan eksternal yang berasal dari lingkungan eksternal organisasi seperti politik, norma-norma, praktik-praktik institusional dalam bentuk tekanan fungsional dan sosial, akan berpengaruh terhadap stabilisasi suatu organisasi (Ashworth et al., 2007). Dalam penelitian Akbar et al. (2012) menyatakan bahwa melalui tekanan tersebut akan berdampak pada perubahan organisasi untuk menerapkan institusional isomorphism, di antaranya: (1) Coercive isomorphism, adanya ketergantungan organisasi terhadap organisasi lain, menyebabkan suatu organisasi harus patuh terhadap aturan yang bersifat formal maupun nonformal suatu organisasi; (2) Mimetic isomorphism, adanya organisasi yang memiliki tipe yang sama dan dianggap sukses dan terlegitimasi, mendorong suatu organisasi untuk menyerupai organisasi tersebut; dan (3) Normative isomorphism, adanya tekanan dari sisi profesionalisasi, yang mana profesionalisasi membangun basis kognitif dan legitimasi untuk otonomi organisasi. Tekanan eksternal pada konteks ini terkait tekanan yang ada pada lingkungan luar kabinet, yaitu adanya regulasi terkait tuntutan Perpres 54/2020 yang didasarkan pada UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, bahwa pengelolaan keuangan negara harus efisien, efektif, berdayaguna, transparan dan akuntabel. Adanya regulasi tersebut, membuat Presiden dan jajarannya harus menyusun dan mengelola anggaran berbasis kinerja yang efektif, efisien, dan ekonomis (3E’s) yang berprinsip pada konseptualisasi value for money. Hal ini dilandasi karena anggaran pemerintah merupakan bentuk pertanggungjawaban atas akuntabilitas publik dan program kerja yang dilaksanakan melalui dana masyarakat.

Pengaruh kekuatan koersif dari pimpinan akan berdampak pada kinerja organisasi khususnya, kementerian/lembaga teknis yang kinerjanya kurang baik. Hal ini dapat ditinjau dari peran Presiden selaku kepala pemerintahan yang memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan yang telah diatur dalam UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara. Di samping itu, Presiden Joko Widodo juga menggunakan gaya kepemimpinan koersif berupa reshuffle kabinet Indonesia Maju untuk mengatur para menteri agar dapat bekerja untuk kinerja lebih baik.. Dengan demikian, isu reshuffle kabinet mungkin benar-benar dilakukan dan bukan hanya sebuah gertakan sambal.

Minimnya penyerapan anggaran di pemerintah pusat maupun daerah acap kali dituding sebagai buruknya kinerja birokrasi. Hal ini ditengarai karena penyerapan anggaran dapat mendorong terciptanya multiplier effect terhadap laju perekonomian nasional. Kunta Wibawa Dasa Nugraha selaku Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengeluaran Negara menyatakan, bahwa penyaluran anggaran kesehatan penanganan Covid-19 masih rendah karena disebabkan oleh keterlambatan klaim. Hal ini mengindikasikan bahwa akar masalah rendahnya penyerapan anggaran karena beragamnya birokrasi yang seolah-olah membuat realisasi anggaran kementerian/lembaga teknis menjadi sulit. Hal ini menunjukkan bahwa skema pencairan dana yang dibuat oleh Kementerian Keuangan terlalu birokratis. Dalam hal ini reformasi birokrasi pada administrasi dan strategi penyederhanaan regulasi menjadi kunci untuk memaksimalkan alur pencairan dana. Tujuannya untuk meningkatkan kinerja birokrasi pemerintah dalam memberikan layanan publik dan pemberdayaan warga negara terkait penanganan Covid-19.

Namun, sejatinya kinerja birokrasi tidak dapat ditaksir dengan penyerapan anggaran. Evaluasi Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan menyatakan, bahwa dalam konseptualisasi penganggaran berbasis kinerja (performance based budget), sejatinya penyerapan anggaran bukan merupakan target capaian kinerja (Sinaga, 2016). Anggaran berbasis kinerja lebih menomorsatukan pada kinerja daripada penyerapannya. Akan tetapi, kondisi ekstraordinari saat ini menjadikan faktor dominan pendorong pertumbuhan ekonomi ialah faktor konsumsi, untuk menyelamatkan perekonomian dan menstabilkan keuangan nasional. Dengan demikian, anggaran belanja yang merupakan konsumsi pemerintah turut menjadi penentu pertumbuhan perekonomian nasional. Oleh karena itu, pemerintah sudah seharusnya menggenjot realisasi belanja di setiap kementerian,untuk menunjang pertumbuhan perekonomian nasional agar tidak terjadi resesi ekonomi yang berkepanjangan. Situasi resesi yang berkepanjangan dan tidak diatasi, dapat mengarah kepada kondisi krisis ekonomi yang menyebabkan depresi ekonomi.

Dalam drama sidang terbatas, mantan Gubernur DKI Jakarta menyentil kinerja anak buahnya yang tidak mengerti prioritas yang harus dikerjakan dan masih terjebak pada pekerjaan harian. Dalam perspektif teori penetapan tujuan (goal setting theory) bahwa pandangan teori ini menitikberatkan pada hubungan antara tujuan yang telah ditetapkan terhadap output dari kinerja (Locke, 1968). Konseptualisasi teori penetapan tujuan didasari pada pemikiran dan niat yang menjadi inisiator dari perilaku setiap individu, sehingga untuk mewujudkan kinerja yang optimal dibutuhkan motivasi yang kuat, yang didasari pada niat. Apabila ditinjau melalui perspektif konseptualisasi goal setting theory, kinerja para menteri belumlah memahami mengenai tujuan Presiden dan masih berkutat pada pekerjaan reguler. Tingkat kinerja atau tujuan yang ingin dicapai dapat dilihat dari sasaran kerja dari masing-masing kementerian/lembaga teknis. Dalam hal ini ketepatan penganggaran dalam penanganan Covid-19 dipengaruhi oleh penetapan tujuan. Visi dan misi Presiden merupakan tujuan utama sehingga diperlukan target kinerja yang jelas dan terukur. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya para menteri belum memahami program kerja apa yang akan dilaksanakan pada lini kementerian masing-masing. Kondisi ini akan berdampak pada prestasi kerja dari kegiatan yang akan dilaksanakan, yang dilandasi pada perencanaan anggaran.

Dengan demikian, perencanaan anggaran yang baik perlu menitikberatkan sasaran atau target yang akan dicapai, bukan hanya mencantumkan jumlah nominal dan perencanaan yang dibutuhkan setiap program kerja yang akan dilaksanakan pemerintah. Keberhasilan kebijakan ini akan bergantung pada bagaimana Presiden dan jajarannya menyikapinya dengan melihat dari kaca mata perspektif isomorphism theory. Melalui kaca mata isomorphism, Presiden menggunakan tekanan koersif untuk mengkritik kinerja para pembantunya, sehingga bukan tidak mungkin Presiden Joko Widodo akan mendepak menteri dari kursinya, apabila kinerja para menteri tidak sesuai dengan penetapan visi dan misi Presiden serta buruk dalam mengalokasikan anggaran belanja.

Pengawasan dan Penganggaran Berbasis Kinerja

Kritik keras Presiden Joko Widodo memang mendasar karena dalam hal pencairan anggaran untuk lini belanja kementerian yang dinilai lambat dan belum signifikan untuk menanggulangi dampak pandemi Covid-19. Kenyataannya, masih saja para pembantu Presiden belum memahami skala prioritas pada pengalokasian anggaran untuk pandemi Covid-19 yang mengakibatkan terjadinya dana yang menganggur (idle money). Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah belum mengimplementasikan kerangka penganggaran berbasis kinerja secara optimal. Dalam perspektif teori penetapan tujuan bahwa tujuan yang disadari akan menghasilkan tingkat prestasi yang tinggi jika individu menerima suatu tujuan. Dapat disimpulkan bahwa kinerja pemerintah belum berprestasi dalam realisasi belanja penanganan Covid-19 dikarenakan antar-kementerian belum memahami tujuan dari Presiden. Perlu perbaikan komunikasi antara Presiden dan jajarannya serta mengurangi ego sektoral dalam penanganan pandemi virus corona.

Setiap lini kementerian dalam mengelolaan anggaran seharusnya memilih program dan kegiatan yang sesuai dengan prioritas dan sasaran (program follow result). Besaran anggaran yang dialokasikan sesuai dengan program dan kegiatan yang mendukung pencapaian prioritas sasaran program. Atas tahapan tersebut penulis berharap bahwa praktik tersebut dapat mendorong pelaksanaan anggaran berbasis kinerja dan mengantisipasi rendahnya penyerapan anggaran. Kemudian, preferensi institusional demokrasi dalam bernegara perlu diwarnai dengan prosedur pengawasan sehingga terdapat mekanisme check and balances pada sistem pemerintahan. Unsur pengawasan diperlukan untuk menjamin keberhasilan suatu program kerja dan mengantisipasi perilaku moral hazard dalam penanganan Covid-19. Di samping itu, pengawasan digunakan untuk mendukung kelancaran dan ketepatan pelaksanaan program kerja pemerintah. Dengan demikian, tidak boleh ada satu rupiah pun/anggaran pemerintah yang tidak memiliki hasil atau manfaat bagi kemaslahatan masyarakat dalam penanganan pandemi Covid-19. ***

Krist Setyo Yulianto

Mahasiswa Magister Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada