Melawan DBD di Tengah Pandemi Covid-19

Melawan DBD di Tengah Pandemi Covid-19

PENYAKIT Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit tular vektor yang masih menjadi masalah setiap tahun di Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat, sejak Januari hingga 11 Maret 2020 terdapat 17.820 kasus penularan Demam Berdarah Dengue (DBD), yang melebihi jumlah kasus positif COVID-19 di seluruh Indonesia saat ini. Penyakit DBD tersebar di seluruh provinsi di Indonesia termasuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di seluruh kabupatennya, yaitu Kabupaten Sleman, Bantul, Gunungkidul, dan Kulonprogo. Dinas Kesehatan Provinsi DIY juga mencatat bahwa telah terjadi 1.032 kasus DBD sepanjang Januari-Februari 2020. Oleh karena itu, penyakit DBD patut diwaspadai oleh seluruh masyarakat DIY di tengah maraknya pandemi COVID-19.

Penyakit DBD disebabkan oleh agen virus dengue dan ditularkan ke manusia melalui vektor nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus. Penyakit ini ditandai dengan demam tinggi mendadak, sakit kepala hebat, rasa sakit di belakang mata, otot dan sendi, hilangnya nafsu makan, mual-mual, serta perdarahan baik di kulit maupun di bagian tubuh lainnya, yang dapat menimbulkan syok dan kematian. Penyakit DBD ini terutama menyerang anak-anak termasuk bayi, akan tetapi sekarang proporsi penderita dewasa meningkat. Belum ada obat khusus untuk DBD, melainkan hanya obat-obatan yang meringankan demam dan rasa sakit. Tanpa perawatan yang tepat, case fatality rate (CFR) dapat melampaui 20%. Oleh karena itu, diperlukan perawatan yang intensif terhadap pasien DBD.

Beberapa upaya pencegahan dan program pengendalian vektor telah dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta, antara lain: Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan Menutup, Menguras, dan Menimbun (3M), Juru Pemantau Jentik (Jumantik), Jumantik Mandiri Keluarga (JMK), hingga World Mosquito Project-Eliminate Dengue Project (Wolbachia). Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa kasus DBD di DIY tetap terjadi dan berpotensi meningkat setiap hari. Oleh karena itu, tidak ada cara lain selain terus memastikan bahwa program-program tersebut berjalan efektif berdasarkan kesadaran setiap masyarakat, dengan kewaspadaan ganda untuk melawan DBD di tengah pandemi COVID-19.

Nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus senang berkembang biak pada tempat-tempat berair dan lembab seperti bak mandi, genangan air, selokan, wadah berisi air, dan sebagainya. Program 3M (Menutup, Menguras, dan Mengubur) dapat dilakukan dengan menutup lubang-lubang yang lembab, menguras bak mandi dan tempat air lainnya secara berkala, mengubur sampah organik secara berkala, rutin membersihkan barang-barang yang tidak terpakai, rutin mengganti air dalam vas atau tempat tanaman. Dengan terus menjalankan kebiasaan 3M, tempat perkembangbiakan (breeding place) maupun tempat peristirahatan (resting place) akan berkurang bahkan tidak ada, sehingga vektor nyamuk tidak dapat berkembang biak.

Nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus mengalami metamorfosa sempurna, yaitu dari bentuk telur, larva, pupa dan nyamuk dewasa. Stadium telur, larva, dan pupa hidup di dalam air (aquatik), sedangkan nyamuk hidup secara teresterial (di udara bebas). Karena itu, jumlah nyamuk dalam fase larva atau pupa juga mempengaruhi penularan DBD berdasarkan keberadaan dan jumlahnya. Dengan pengetahuan dan kesadaran akan lingkungan hidup yang bersih, program Jumantik dari Dinas Kesehatan DIY seharusnya dapat dilakukan secara mandiri oleh masing-masing keluarga secara berkala, dengan menghitung jumlah jentik di setiap tempat yang berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan (breeding place). Dengan demikian, pemantauan jentik oleh Dinas Kesehatan DIY hanya sebatas meminta dan memantau jumlah jentik yang ada di setiap rumah secara berkala.

Eliminate Dengue Project menggunakan bakteri Wolbachia yang akan memblokir replikasi virus dengue pada vektor nyamuk dan jika nyamuk ber-Wolbachia tersebut dilepas, maka akan menghasilkan keturunan ber-Wolbachia, sehingga diharapkan akan mengeliminasi virus dengue dan membasmi DBD. Menurut ketua peneliti World Mosquito Program (WMP), sejak pelepasan nyamuk ber-Wolbachia, angka insidensi atau incidence rate (IR) DBD di kota Yogyakarta lebih rendah dibandingkan dengan wilayah yang tidak diintervensi. Walau demikian, program tersebut tidak bisa dijadikan harapan satu-satunya untuk membasmi DBD di DIY. Kesehatan masyarakat sebagian besar ditentukan oleh gaya hidup dan perilaku masyarakat itu sendiri.

Mengonsumsi makanan yang sehat dan bergizi, rutin berolahraga, membersihkan dan merawat diri, saling peduli dan mengingatkan untuk melakukan setiap program akan mendukung keberhasilan program-program tersebut. Dengan membangun gaya hidup bersih dan sehat, penularan penyakit DBD dapat dicegah, sekaligus mencegah pula penyebaran Covid-19. Hal yang yang tak kalah penting yaitu kerja sama yang terpadu dan transparan antar-berbagai pihak untuk melakukan program-program tersebut. Diperlukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pengendalian vektor, serta evaluasi program yang dapat dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi secara berjenjang, dengan melibatkan instansi, organisasi profesi, masyarakat, maupun pihak terkait lainnya secara berkala. Mari bersama melawan DBD di tengah pandemi COVID-19! **

Abigail Nyoto

Mahasiswa Fakultas Bioteknologi Universitas Kristen Duta Wacana