Kasus Gereja Hayam Wuruk: Bukan Jemaat yang Menolak

Kasus Gereja Hayam Wuruk: Bukan Jemaat yang Menolak

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Penunjukan Pendeta Muda (Pdm) Raden James Prayitno Tjahjono sebagai Gembala Gereja Pantekosta di Jl. HayamWuruk 22 Yogyakarta, tidak mendapatkan penolakan jemaat gereja. Penolakan hanya dilakukan oleh sejumlah pengurus Majelis Jemaat GPdI Hayam Wuruk, yang selama delapan tahun terakhir menguasai aset-aset gereja.

Jemaat gereja, terutama yang sudah menjadi umat Gereja Pantekosta Hayam Wuruk sejak Pdt Gideon Sutrisno masih aktif, pendiri gereja Hayam Wuruk mengetahui dengan jelas bahwa Raden James Prayitno Tjahjono adalah cucu Pdt. Gideon Sutrisno.

“Mereka yang paham siapa Pak James, justru menunggu dengan sukacita,” kata Ketua Majelis Daerah Gereja Pantekosta di Indonesia, Pdt Dr Samuel Tandiassa M.Th, kepada koranbernas.id, Jumat (18/09/2020) sore, di pastori Gereja Pantekosta El-Asah, Condongcatur, Depok, Sleman. Ia didampingi salah satu pengurus tokoh gereja, Drs J Poerwadi.

Menurut Pdt Samuel, umat yang sudah berumur justru sering bertanya, kapan Pdm James memberikan khotbah naik ke mimbar. Keberadaan Pdm James Prayitno Tjahjono di Gereja Hayam Wuruk sudah cukup dikenal jemaat. Ia tercatat sudah tiga tahun mendampingi nenek tirinya, Pdt Lianawati Sutrisno.

Setiap kali berlangsung ibadat gereja, James bertugas sebagai penyambut tamu. Sebagai pendeta muda, tambah Samuel, James memenuhi syarat karena juga bergelar sarjana theologi, lulusan Sekolah Tinggi Theologi Salatiga.

Raden James Prayitno Tjahjono ketika dihubungi koranbernas.id mengatakan, ia dilantik sebagai gembala Gereja Pantekosta Hayam Wuruk pada 14 Juni 2020 yang lalu. Ia mengakui, pelantikan yang semestinya dilaksanakan di depan jemaat Gereja Pantekosta Hayam Wuruk, dipindah ke Gereja Pantekosta El-Asah Condongcatur.

“Karena waktu itu ada sejumlah orang pengurus Majelis Jemaat menguasai gereja dan mengunci gereja maupun pagar pintu depan. Agar tidak terjadi keributan, kami memilih memindahkan acara pelantikan,” kata James.

Anton Sutrisno, yang waktu itu menjadi Koordinator Majelis Jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia Hayam Wuruk, kepada koranbernas.id menjelaskan, pelantikan itu ditentang karena penunjukannya sepihak oleh Majelis Pusat. Pimpinan organisasi tidak mendengarkan aspirasi jemaat.

“Karena itu, kami menolak dan melarang penggunaan Gereja Hayam Wuruk untuk pelantikan. Apalagi, Gereja Hayam Wuruk masih memiliki gembala. Jadi, langkah Majelis Pusat (MP) dan Majelis Daerah (MD) mengganti gembala melanggar AD/ART GPdI,” terang Anton.

Ia menambahkan, adalah tidak benar sama sekali kalau dikatakan Gereja Hayam Wuruk memasukkan pendeta dari golongan lain sehingga masuk doktrin-doktrin lain. “Ini tidak benar dan menyesatkan. Karena dari pengurus MD, yaitu Pdt Yonatan Edi Gunawan sebulan 3-4 kali berkotbah di gereja kami. Sekda MD tiap bulan juga berkotbah di gereja kami,” tegas Anton.

Tidak melanggar

Tentang kewenangan mengganti gembala, Ketua Majelis Daerah Pdt Samuel menjelaskan, Majelis Pusat maupun Majelis Daerah sama sekali tidak melanggar Anggaran Dasar maupun Anggaran Rumah Tangga GPdI. Ia menunjukkan, ART GPdI Bab VII pasal 14 ayat (5) menyebutkan, pengisian kekosongan Gembala Jemaat diputuskan oleh Majelis Daerah dalam rapat pleno, setelah memperhatikan panggilan penggembalaan dan kondisi jemaat setempat. Dalam keadaan khusus, pengisian kekosongan Gembala Jemaat dilakukan oleh Majelis Pusat.

Kondisi penggembalaan jemaat di Gereja Hayam Wuruk termasuk dalam keadaan khusus, karena Pdt Lianawati sudah delapan tahun tidak dapat lagi naik mimbar karena sudah berusia 87 tahun. “Penggantian itu dimaksudkan agar pelayanan kepada jemaat tetap dapat dilakukan maksimal,” kata Samuel.

Penggantian ini kemudian berujung pada keluarnya jemaat Gereja Pantekosta Hayam Wuruk dari payung organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI). Anton Sutrisno mengklaim, ada 1.200 jemaat yang sejak 26 Juni 2020 berpindah organisasi ke Gereja Sidang Pantekosta Di Indonesia (GSPDI). Namun, menurut Pdm Raden James Prayitno Tjahjono, jumlah jemaat GPdI Hayam Wuruk tidak ada sejumlah itu.

“Kami dulu, kalau ibadah pagi paling banyak hanya sekitar 200-an orang. Ibadah siang lebih sedikit lagi. Kalau pas acara besar seperti perayaan Natal, jumlah jemaat hanya sekitar 600-an orang,” kata James.

Dilaporkan polisi

Guna mencari kebenaran, Pdt Samuel Tandiassa pada 26 Juni 2020 sudah melaporkan kasus penguasaan Gereja Hayam Wuruk ke Polda DIY dan diterima perwira siaga Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT), Ajun Komisaris Hartono, SH, MH.

Tindak pidana yang dilaporkan adalah menempati rumah atau pekarangan tanpa hak sebagaimana diatur dalam pasal 167 KUH Pidana. Mereka yang dilaporkan ada lima orang, yakni MAH, Suh, Gat, Her dan Ant.

“Sampai sekarang kami masih menunggu perkembangan penanganan perkara oleh Polda DIY,” tambah Samuel. (*)