Expanded Artjog Sebuah Idealisme yang Wajib Ditonton

Expanded Artjog Sebuah Idealisme yang Wajib Ditonton

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Usai membuka kunjungan sejak Senin (7/9/2020), ARTJOG:Resilience meluncurkan sebuah karya audio visual yang diberi nama Expanded ARTJOG. Film dokumenter besutan Kurnia Yudha Fitranto dan tim ARTJOG ini benar-benar memberikan pengalaman baru menikmati dan mengalami festival seni kontemporer secara daring. 

Jauh sebelum karya film ini diluncurkan di laman www.artjog.co.id, Direktur ARTJOG Heri Pemad kepada koranbernas.id mengutarakan, konsepnya yang sejak lama dia inginkan dalam merepresentasikan E-ARTJOG adalah tidak semata-mata memindah dan mengganti format pameran ke dalam katalog digital dengan segala rupa teknologinya.  Akhirnya seni rupa tidak mampu menyampaikan pesannya ke penikmat seni bahkan kehilangan ruhnya. 

Paham akronim E dari rangkaian kata E-ARTJOG pun secara harfiah tidak ingin semata-mata E yang berarti Electronic seperti halnya e-Paper, e-Money dan seterusnya. Dengan ke-pemad-annya Heri mengatakan E-ARTJOG dalam idealismenya adalah Expanded ARTJOG.

Yaitu sebuah film dokumenter yang merespons ARTJOG secara keseluruhan menjadi sebuah karya baru dengan format baru yaitu audio visual.

“Tidak hanya merekam dan menjadi sama dengan mata pengunjung dalam menikmati pameran ARTJOG di galeri, tapi harus menjadi sesuatu yang lebih, expanded. Bagaimana pun datang langsung ke pameran seni rupa tidak akan tergantikan," ujarnya kala itu.

Kurnia Yudha Fitranto sebagai sutradara yang menggarap Expanded ARTJOG ini bukan main-main. Bagi yang awam, sama sekali tak mampu membayangkan output-nya hingga karya audio visual ini benar-benar bisa dinikmati.

Di dalam film berdurasi 61 menit ini Expanded ARTJOG ingin menyampaikan hal-hal yang mendasari kenapa Festival Seni Kontemporer ini tetap dihelat. Pemad ingin menjadikan ARTJOG sebagai sebuah perhelatan yang memiliki daya juang dan mampu beradaptasi terhadap situasi maupun pandemi.

Malioboro kota mati

Ruas jalan Malioboro yang direkam dengan drone pada malam hari benar-benar seperti kota mati pada awal pandemi Maret lalu. Scene ini secara visual mampu menyampaikan betapa mencekamnya pandemi Covid-19.

Voice over berita di media-media serta narasi kegelisahaan divisualkan cut to cut tapi tetap terhubung dengan baik dengan adegan-adegan lain.

Dalam salah satu scene pada Expanded ARTJOG terdapat beberapa narasi seniman yang ikut terlibat dalam ARTJOG. Pelukis Djoko Pekik salah satunya. Dia menjelaskan kesibukan barunya melukis saat pandemi dapat mengalihkan kengeriannya terhadap pemberitaan media yang menyampaikan kasus terjangkit Covid-19 dan meninggal terus bertambah.

“Kalau di rumah dilarang ini, mendengar berita di televisi itu yang mati yang kena (Corona). Wah ngeri. Supaya tidak stres saya punya kegiatan melukis, terus punya kegiatan lagi membikin kuburan saya sendiri di Makam Seniman Imogiri," papar Pekik menjelaskan lukisannya berjudul Gelombang Masker.

Dengan begitu dirinya lupa. Perasaannya senang. “Nah dengan begitu (saya) lupa pandemi dan saya dalam keadaan senang. Senang tidak mati dalam pandemi Corona ini. Saya takut mati sekarang, boleh mati dan mau tapi nanti, toh sudah bikin kuburan. Asal sudah selesai Corona, soalnya mati dalam Corona nanti nggak ada yang layat, dipendhem kayak kucing,” lanjut narasi Pekik sambil kamera terus bergerak memperlihatkan detail-detail lukisan miliknya.

Jiwa gotong royong bangsa Indonesia yang tinggi tampaknya menginspirasi Pekik. Dia melukis sebuah kendaraan roda empat berwarna putih bertuliskan Corona 2020 tampak sedang dihalau ratusan orang dengan mengacung-acungkan kepalan tangan.

Lelaki, perempuan, tua, muda hingga anak-anak kompak menggunakan masker, ada pula yang menggunakan bendera merah putih sebagai pengikat kepala.

“Saya keliling-keliling dengan mobil yang seperti saya katakan, tidak turun, lihat-lihat kalau sore berbagi nasi bungkus ke tukang becak, kuli-kuli dan orang-orang yang membutuhkan. Ya (kadang) sembako segala macam itu. Yang saya baca bagusnya Indonesia itu solidaritas teman itu masih tumbuh bagus,” lanjut Pekik.

Meski dalam situasi krisis nyatanya kegiatan saling membantu tetap ramai. “Nah itu kan paling hebat, orang ingat dan dapat membantu sesama dalam keadaan krisis itulah yang menjadi perhatian saya. Karena orang-orang ini (juga) punya perhatian ke tempat lain dan punya perhatian kepada orang lain," terangnya.

Penjelasan seperti ini tidak akan diperoleh pengunjung dengan hanya datang menikmati pameran ARTJOG di Galeri Jogja National Museum.

Selain menampilkan Nicholas Saputra pada beberapa scene penjelasan pameran bersama Heri Pemad, sejumlah seniman kawakan seperti Ugo Untoro, Restu Ratnaningtyas, Citra Sasmita, Lucia Hartini, Bob Sick, Maryanto hingga Malcolm Smith juga menyampaikan narasi penjelasan tentang karya-karyanya.

Berkolaborasi dengan Kurnia Yudha Fitranto dan praktisi film dokumenter lain, ARTJOG berusaha merekam realita dan menghadirkannya ke publik. Dengan pendekatan ini, beberapa elemen penting seperti ruang pamer, proses displai, proses kekaryaan dan presentasi karya seni dapat dilihat, didengar dan dialami.

Kurnia Yudha Fitranto menjelaskan, ada tiga gagasan utama yang ingin disampaikan melalui film ini, yaitu ARTJOG sebagai peristiwa, ARTJOG sebagai ruang dan karya, dan ARTJOG dalam konteks sosial budaya.

"Selain merupakan suatu cara untuk menyiasati keterbatasan, Expanded ARTJOG mengubahnya menjadi suatu bentuk tawaran yang berbeda, baik secara pengalaman maupun secara artistik. Dengan hadirnya karya ini, diharapkan publik yang selama ini telah setia mendukung ARTJOG mendapat pengalaman yang berbeda dalam menikmati ARTJOG:Resilience," tandasnya.

Karya ini hanya dapat diakses di www.artjog.co.id dengan mendaftarkan diri (login) terlebih dahulu dan bisa dinikmati mulai 12 September sampai 31 Oktober 2020. Dengan biaya Rp 15.000 dapat menonton film berdurasi 61 menit berulang kali selama tujuh hari sejak pembelian. (*)