Buangan Limbah Batik Potensial Mencemari Sungai

Buangan Limbah Batik Potensial Mencemari Sungai

BATIK merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang telah ditetapkan oleh UNESCO. Batik Yogyakarta memiliki keunikan khusus di antaranya adalah mengandung filosofi yang sangat kental, meskipun sudah dipadukan dengan motif–motif baru dan tren saat ini. Hal ini membuat batik di Yogyakarta mampu bersaing dan tetap bertahan hingga sekarang. Menurut Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi DIY, industri batik di DIY ini sudah mencapai 3.000 IKM dan tersebar di kabupaten Sleman, Kota Yogya, Bantul, Gunungkidul dan Kulonprogo. Sebagian besar industri batik di Yogyakarta masih membuang limbahnya tanpa disertai dengan proses pengolahan yang sesuai dengan peraturan dan perizinan yang mengatur hal tersebut. Instansi terkait belum melakukan penindakan yang tegas dan konkrit terhadap industri batik yang melanggar baku mutu. Permasalahan yang dialami beberapa industri di Yogyakarta, adalah kurangnya penerapan cara berproduksi yang efisien, terutama dalam penggunaan bahan kimia dan air. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya kesadaran, pemahaman dan pelatihan para pengusaha batik untuk menerapkan produksi yang bersih dan sesuai dengan SOP yang berlaku. Peraturan tersebut diatur dalam Peraturan Gubernur DIY No.7 tahun 2010 yang mengatur tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri yang didasarkan pada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam proses pembuatan batik, banyak bahan–bahan kimia yang digunakan contohnya pewarna sintetis, HCl, Garam diazo, remasol dll. Industri batik biasanya menggunakan pewarna sintetik dalam proses produksinya, karena warnanya akan tahan lama serta mudah dalam perawatannya jika dibandingkan dengan batik yang diwarnai menggunakan pewarna alami. Pewarna sintetik ini digunakan dalam pembuatan batik printing, batik tulis maupun batik cap. Limbah yang dihasilkan kurang lebih 200 liter per hari. Limbah tersebut terdiri dari bahan–bahan kimia proses pembuatan kain batik. Limbah tersebut mengandung logam berat seperti Zn (Seng), Pb (Timbal), Cr (Krom), dan TDS yang tinggi. Limbah hasil pengolahan batik dapat mengubah pH, suhu, dan banyaknya oksigen terlarut (DO). Hal tersebut berpotensi mengganggu kelestarian sungai dan menyebabkan sungai tidak dapat menjalankan fungsinya. Limbah tersebut mampu membuat biota yang berada di sungai mati karena sudah tidak mampu mengakumulasi limbah yang ada di tubuhnya. Masyarakat yang tinggal di bantaran sungai juga pasti merasakan dampaknya. Air sungai yang masuk ke sumur-sumur warga dapat menyebabkan gatal–gatal saat digunakan untuk MCK. Bahan kimia tersebut dapat terakumulasi pada manusia dan akan mengganggu fungsi–fungsi organ tertentu. Hal tersebut membuat industri batik ini menjadi sumber pencemar yang sangat berpotensi mencemari sungai.

Industri batik yang berada di DIY perlu melakukan perubahan, agar limbahnya tidak mencemari lingkungan, yaitu dengan mengadakan program industri batik yang ramah lingkungan. Hal tersebut dapat dimulai dengan menggunakan bahan pewarna alami untuk pewarnaan kain batik seperti kunyit, soga, indigo, dll. Apabila penggunaan pewarna alami tidak dimungkinkan, dapat digunakan pewarna sintetis dengan disertai pengelolaan dan monitoring yang tepat dan sesuai dengan SOP yang berlaku.

Pengolahan limbah dapat dilakukan secara tradisional maupun modern. Pengolahan secara tradisional misalnya dengan menggunakan ijuk, tawas, arang, dan beberapa bahan lainnya. Sedangkan pengolahan secara modern dapat menggunakan sistem bioremidiasi, lumpur aktif dan anaerobic baffle reactor. Monitoring bertujuan untuk mengukur apakah parameter fisik, kimia dan biologi sudah sesuai dengan SOP yang berlaku. Program monitoring harus dilakukan secara transparan untuk dapat mengetahui sejauh mana sungai sudah tercemar oleh limbah.

Industri batik di DIY memang sangat membantu masyarakat. Akan tetapi, perlu disadari bahwa menjaga sustainabilitas lingkungan juga menjadi hal yang penting untuk menjaga lingkungan kita tetap lestari. Para produsen batik dapat menerapkan program industri ramah lingkungan. Perubahan yang membangun dapat membuat pencemaran air berkurang. Selain itu, perlu dilakukan sosialisasi dan pelatihan khusus guna menambah pemahaman para produsen industri batik serta meningkatkan kemampuan para produsen dalam menghasilkan limbah yang efisien dan tidak mencemari lingkungan. *

Florencia Angel Meliana

Mahasiswa Fakultas Bioteknologi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.