Beratnya Mendampingi Belajar Daring

Beratnya Mendampingi Belajar Daring

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA - Pembelajaran dengan sistem daring yang terpaksa dilakukan agar anak-anak tetap bisa belajar di rumah untuk memutus matarantai penyebaran  Covid 19 tidak sesederhana yang dibayangkan. Ada yang tidak punya perangkat teknologi informasi atau TI, bahkan ada orangtua yang sama sekali tidak "melek" IT.

"Memang dengan daring ini ibu terutama bisa jadi pusing. Masalahnya situasi rumah yang berbeda dengan di sekolah di mana anak- anak bisa bertemu dan bermain dengan teman-temannya. Dampaknya anak jadi kurang greget belajar,'" kata Fatique menjawab pertanyaan koranbernas.id, Minggu (23/8/2020).

Ibu muda usia ini sulungnya, Maharani  Difa Rochmawati masih kelas 8 di Madrasah Tsanawiyah. Sedang adiknya, Nurosyid Brian Nugroho kelas 2 SD Muhammadiyah. Karenanya Watik, begitu dia biasa disapa harus menyediakan waktu untuk mendampingi anaknya. Biasanya dilakukan pukul 08.00 sampai Dhuhur. Ishoma, lalu dilanjutkan pukul 13.00 sampai 14.00. Kadang ada yang sehari tiga mata pelajaran, jadi cukup berat.

Beruntung dia mengerti IT dan punya perangkatnya. Bagaimana kalau yang tidak? Menurut Watik, karena menjadi bagian masa depan anak, seyogyanya dikursuskan. Atau belajar pada anak-anak yang lebih besar di lingkungannya.

Selama ini dia masih nenggunakan pulsa data. Tetapi biayanya yang semula Rp 35.000 jadi dua kali lipatnya per bulan. Idealnya memang di setiap RW ada dukungan WIFI. Menurut Watik, dulu Keminfo pernah punya rencana seperti itu. Tetapi hingga kini belum direalisasi. Sehingga kalau harus download misalnya, Watik terpaksa pergi ke Masjid Baiturrohim yang tidak jauh dari rumahnya karena ada WIFInya. Sementara anak-anaknya belajar, dia sempat mengurus tanaman di lantai 2 masjid . Karena dia memang pegiat penghijauan di lingkungannya.

Berbeda dengan si kembar Ulfa Munawarroh, kuliah di Fakultas Biologi UGM dan  Zulfa Munawarroh kuliah di Fakultas MIPA UGM, sama-sama semester 5. Ibunya, Nur Munawar yang juga pendidik relatif bisa melepas keduanya belajar mandiri. Karena kesehariannya Ulfa dan Zulfa memang terbiasa menggunakan IT. 

Untuk mengatasi rasa jenuh sekalian memanfaatkan waktu, si kembar mendatangkan anak-anak di lingkungannya belajar mengaji sehingga bermanfaat ganda. Bila rasa jenuh itu datang, Watik sering membawa anak-anaknya ke rumah buyutnya di Bantul. Dengan demikian mereka mendapatkan suasana baru pedesaan yang menyenangkan.

Hal senada disampaikan Rara Lareza Gevira Salsabila mahasiswi Fakultas  Peternakan  UGM dan kembarannya Rara Larezi Geitza Salsabila mahasiswi Fskultas Biologi. Mahasiswa semester 5 yang tinggal di Perumahan Bangunjiwo Graha Yasa, Kasihan Bantul itu tidak mengalami kendala. Meski tinggal di wilayah berbukit, tetapi WIFI mendukung sinyal tetap kenceng. Ibunya, Ida Haris juga tidak perlu memberi pendampingan. Selain rutin mengikuti kuliah daring, si kembar Geiva dan Gevi bahkan bisa nyambi bisnis online tanpa mengganggu kuliahnya. "Laris manis, punya reseller di banyak kota," kata Ida.

Marginnya ditabung untuk keperluan pendidikan mereka. Si kembar ini memang punya sense of bussiness dari ibunya. Bahkan mereka menang dalam lomba Program Mahasiswa Wiraswasta (PMW) UGM.

Ida menyadari berbulan- bulan di rumah pasti suatu saat jenuh juga. Kalau saat itu datang, Ida menyuruh si kembar sepedaan keliling kompleks, sifatnya rekreatif. Yang penting tetap mematuhi protokol kesehatan.

Si kembar ini masih punya adik kecil. Andin tahun ini naik kelas 4 SD. Pada Andin inilah Ny Ida Haris tertib mendampingi daring di sela-sela kesibukan mengurus rumah tangga dan bisnis rumahannya.

Drg H Ircham Machfoedz. Pensiunan dosen Poltekkes Kemenkes Yogyakarta dan pernah menjadi guru SMEA di Merauke  tengah memberikan pembelajaran daring (arie giyarto/koranbernas.id)

Luring Setelah Aman

Baik Watik, Nur Munawar dan Ida sepakat  pengajaran tatap muka masih lebih sehat bagi perkembangan anak- anak.  Ini juga sejalan dengan pendapat Drg H Ircham Machfoedz. Pensiunan dosen Poltekkes Kemenkes Yogyakarta dan pernah menjadi guru SMEA di Merauke  itu mengatakan, daring sifatnya darurat.

"Pengajaran tatap muka terjadi sambung batin langsung yang nenjadi bagian dari sistem komunikasi untuk meeting of mind yang dapat menyimpulkan suatu persepsi berupa pemahaman termasuk bahasa tubuh," kata Ircham.

Pria yang aktif di bidang pendidikan ini di rumahnya mendidik para santri SQ juga dengan daring. Dalam kedaruratan ini sudah seharusnya pemerintah berkorban membantu jaringan di tempat-tempat terpencil dan membantu peralatan pada siswa tak mampu. Kini zaman sudah masuk era digital sehingga ke depan generasi kita tidak boleh ketinggalan teknologi.

"Kecakapan daring itu menstimulir kecakapan teknologi jaringan internet yang di masa depan setiap insan harus menguasai," kata Ircham. Jadi bisa menjadi proses awal pembelajaran perkembangan teknologi.

Sedang bagi ibu-ibu merasakan dengan daring kedekatan anak ibu makin dekat dan  orangtua mampu memantau perkembangan pengetahuan anak-anaknya. Tapi pembelajaran tatap muka tetap lebih baik. Cuma kapan? Ya setelah kondisi aman dari virus Covid 19 dan wilayah dinyatakan hijau.

Menurut Ircham, kasus meninggalnya guru di Surabaya akibat sekolah luring yang tergesa-gesa dilakukan jangan sampai terulang. Pendidikan memang perlu, tapi keselamatan  guru dan murid lebih diutamakan. (ato )