Baduy: Destinasi Wisata atau Saba Budaya?

Baduy: Destinasi Wisata atau Saba Budaya?

PADA 6 Juli 2020 lalu, beredar surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, dari penerima mandat - masyarakat adat Baduy, yang berisi agar wilayah adat Baduy tidak lagi dicantumkan sebagai lokasi objek wisata dan membuat peraturan yang melarang pihak mana pun untuk membuat dan mempublikasikan citra gambar wilayah Baduy, khususnya Baduy Dalam dari sudut manapun tanpa terkecuali.

Surat itu pun menjadi polemik, apalagi kemudian muncul surat pernyataan bersama Lembaga Adat Baduy, tertanggal 10 Juli 2020 yang berisi bahwa masyarakat Baduy tidak pernah memberikan mandat secara lisan atau tulisan kepada pihak manapun untuk membuat surat terbuka kepada Presiden.

Sebagai komunitas yang menganut tradisi lisan, surat terbuka terhadap Presiden dan pemberian mandat kepada orang luar Baduy merupakan hal yang tidak biasa. Puun (pemimpin tertinggi, red) masyarakat Baduy biasanya mengutus salah satu warga Baduy untuk menyampaikan permohonannya langsung kepada Presiden, tanpa melalui surat terbuka. Permintaan secara langsung ke Presiden dilakukan dengan mengutus warga Baduy sebagai perwakilan mereka, yang langsung diutus oleh Puun dengan berjalan kaki ke Istana seperti pada zaman Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto.

Destinasi Wisata; Saba Budaya

Jika ditelusuri, sejatinya Baduy bukanlah destinasi pariwisata, karena di Baduy sendiri kita tidak bisa menemui fasilitas umum yang lazimnya harus ada di sebuah tempat wisata. Baduy memiliki daya tarik wisata tentu tidak dapat dipungkiri, karena selama ini banyak masyarakat luar yang tertarik untuk berkunjung ke Baduy dengan tujuan wisata. Meski tidak semua yang datang ke Baduy untuk berwisata, kebanyakan yang datang ke Baduy juga untuk melakukan penelitian, mencari informasi data, bahkan belajar dari kehidupan adat Baduy.

Usaha untuk menjadikan masyarakat Baduy bukan destinasi wisata dilakukan melalui Peraturan Desa Kanekes Nomor 01 Tahun 2007 tentang Saba Budaya dan Perlindungan Masyarakat Adat Tatar Kanekes (Baduy). Dalam peraturan desa tersebut diatur mengenai kunjungan masuk ke wilayah Baduy yang disebut dengan istilah Saba Budaya.

Saba Budaya merupakan suatu istilah yang berasal dari kata Saba dan Budaya. Saba itu artinya berkunjung. Dalam konteks Saba Budaya Baduy dapat diartikan sebagai silaturahmi antara pengunjung orang luar Baduy dengan warga Baduy. Terdapat posisi yang setara jika mempergunakan kata saba, baik yang nyaba (berkunjung) maupun yang disaba (dikunjungi), sama sama subjek dalam Saba Budaya.

Saba Budaya dapat bermakna silaturahmi yang dilakukan dengan berbagai macam cara, antara lain berupa penelitian, kunjungan biasa, ziarah budaya ataupun kegiatan lain yang diperlukan dengan tetap menaati aturan-aturan adat istiadat di Baduy.

Istilah Saba Budaya memang menunjukkan prinsip yang berbeda dengan destinasi wisata. Saba Budaya lebih menekankan pada adanya kegiatan silaturahmi ataupun nyaba ke tempat wilayah lain, dalam hal ini wilayah Baduy. Dalam kontek ini tentu saja, orang yang nyaba harus tunduk dan mengikuti adat istiadat tempat tersebut. Saba lebih menunjukkan interaksi antara subjek dengan subjek. Warga Baduy adalah subjek, bukan objek wisata.

Sebetulnya mekanisme Saba Budaya Baduy, secara rinci telah diatur sedemikian rupa di dalam Perdes tersebut. Mulai dari tata cara alur masuk kunjungan ke wilayah Baduy, yang hanya menyebutkan 2 jalur pintu masuk saja. Berbagai larangan yang tidak boleh dilakukan di kawasan Baduy, antara lain memasuki areal larangan, mempergunakan perangkat elektronik dan benda yang dibawa harus dilaporkan di area kedatangan. Hingga pengaturan terkait sanksi, yaitu teguran oleh Jaro Pamarentah dan atau perangkat desa yang diberi mandat, denda sebagaimana ketentuan yang berlaku, pengusiran oleh perangkat adat, peradilan adat atau pengusiran oleh Jaro Pamarentah yang selanjutnya diserahkan kepada aparat kepolisian Leuwidamar.

Namun, dalam kenyataannya, perangkat perdes tersebut belum efektif dalam menata pengunjung yang datang ke wilayah Baduy. Masih banyak pengunjung yang masuk tidak sesuai dengan alur masuk yang diatur perdes. Larangan-larangan pun ada yang dilanggar tetapi sanksi-sanksi yang diberikan nyaris tidak terdengar.

Tidak dapat dipungkiri, kehadiran pengunjung menjadikan perekonomian Baduy menggeliat, akan tetapi adat istiadat Baduy harus tetap dimumule (dilestarikan) dan dipegah teguh tanpa terkontaminasi oleh budaya luar.

Oleh karenanya, menjadi tepat pertemuan lembaga adat Baduy dan pemerintah yang dilakukan pada tanggal 18 Juli 2020 yang lalu merekomendasikan berbagai hal yang terkait dengan kondisi Baduy saat ini. Yaitu digantinya istilah wisata Baduy dengan Saba Budaya dan adanya pusat informasi Baduy yang bertempat di luar Baduy. Selain untuk membendung para pengunjung yang ingin datang ke Baduy, juga dapat memberikan informasi apapun terkait Baduy tanpa harus datang langsung ke Baduy.

Perdes yang selama ini ada ternyata belum cukup efektif untuk mengelola Saba Budaya ke Baduy. Oleh karena itu diperlukan peraturan perundang-undangan yang lebih kuat, misalnya Peraturan Daerah Saba Budaya yang mengatur bagaimana orang luar Baduy dapat melakukan Saba Budaya ke Baduy dengan tetap memegang teguh adat istiadat Baduy dan di sisi lain memberikan geliat ekonomi tanpa merusak adat istiadat setempat. ***

Dr. Rena Yulia, S.H., M.H.

Peneliti Baduy dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten.